Rasanya tak berlebihan untuk mengatakan, Indonesia ini dikaruniai Tuhan dengan berkah luar biasa. Sumber daya alam melimpah dan sumber daya manusia yang berkembang baik pada akhirnya mewarnai perkembangan berbagai daerah di Indonesia.
Suatu hal yang menarik adalah adanya semacam pengelompokan: daerah Jawa sangat kaya dengan jumlah sumber daya manusia, sedangkan luar Jawa sangat kaya sumber daya alam.Keadaan tersebut menjadikan Indonesia seakan memiliki natural hedge. Pada saat krisis moneter 1997–1998, ketika nilai tukar rupiah jatuh sangat dalam, Jawa,terutama Jakarta,sangat menderita dengan keadaan tersebut.
Namun, daerah Luar Jawa mengalami boom karena kenaikan pendapatan dari komoditas ekspor mereka. Adapun saat terjadi krisis finansial global tahun 2008–2009, luar Jawa mengalami penurunan pendapatan, sementara Jawa sedang mengalami boom. Secara keseluruhan pada 2009,ekonomi Indonesia masih tumbuh 4,5% lantaran boom perekonomian di Pulau Jawa.
Banyak industri manufaktur di Jawa yang waktu itu menurunkan proyeksi penjualannya lantaran kekhawatiran resesi ternyata harus secara cepat memenuhi stok komponennya karena ternyata permintaan produk mereka sangat tinggi. Demikianlah dinamika yang terjadi dalam perekonomian Indonesia hingga saat ini.
Dengan melihat keadaan itu,setiap kali terjadi pergeseran- pergeseran dalam pendapatan masyarakat di daerah pada akhirnya akan berujung juga pada pergeseran kekayaan yang tecermin dari tingkat tabungan mereka di perbankan berbagai provinsi.
Oleh karena itu merupakan suatu hal yang menarik untuk melihat perkembangan danadana perbankan (dana pihak ketiga atau DPK) perbankan demi melihat terjadinya pergeseran- pergeseran tersebut serta kenaikan yang terjadi sejak 2005 hingga data terakhir Mei 2011.
Untuk melihat pergeseran yang terjadi antara Pulau Jawa dan luar Jawa, kita melihat pada akhir 2005, DPK seluruh provinsi di Jawa berada pada posisi Rp830,6 triliun yang merupakan 77% DPK seluruh Indonesia. Pada Mei 2011, peranan DPK di seluruh Jawa tersebut mengalami pergeseran menjadi sebesar Rp1.797,6 triliun atau 74% dari seluruh DPK Indonesia.
Yang menarik, khusus untuk Jakarta, jumlah DPK pada 2005 mencapai Rp535,6 triliun atau sedikit kurang dari 50%, tepatnya 49,8%. Pangsa provinsi tersebut menjadi sebesar 47,6% dari DPK seluruh Indonesia.Ini berarti dari penurunan pangsa Jawa sebesar 3%,sebagian terbesar, yaitu 2,2%, sebetulnya dikontribusi oleh penurunan pangsa DPK DKI Jakarta.
Perkembangan ini pada akhirnya mengonfirmasi pendapat terjadinya pergeseran pendapatan di Indonesia. Daerah- daerah luar Jawa mengalami kemajuan lebih tinggi dibandingkan dengan Jawa, terutama Jakarta.Perbandingan ini masih harus ditambah dengan fakta bahwa banyak perusahaan yang operasinya di luar Jawa, tetapi transaksi keuangan dan perbankannya di Jawa, terutama Jakarta.
Sebagai contoh, perusahaan batu bara di Kalimantan Timur memiliki rekening utama mereka di Jakarta, bukan di daerah operasi mereka di Kalimantan Timur. Itulah sebabnya, perkembangan yang terjadi tersebut sebetulnya jauh lebih kuat daripada statistiknya.
Dengan kata lain,pergeseran pendapatan ke arah luar Jawa terjadi dalam skala kecepatan lebih tinggi dibandingkan dengan data yang tersaji di sini. Perkembangan menarik juga tampak dari luar Jawa.Pengelompokan daerah-daerah tersebut menjadi daerah luar Jawa tidak membuat perkembangan berbagai provinsi di luar Jawa menjadi homogen.
Bahkan banyak sekali terjadi pergeseran di daerah luar Jawa tersebut dan antarprovinsi di pulau masing-masing.Suatu hal menarik adalah perkembangan DPK di Sumatera. Daerah tersebut merupakan kawasan kedua sesudah Jawa yang mengalami perkembangan paling awal.
Secara total, seluruh provinsi Sumatera memiliki DPK sebesar Rp125,9 triliun pada 2005 dan menjadi Rp296,7 triliun,kenaikan sebesar 136% dalam jangka waktu lebih dari lima tahun tersebut.Perubahan itu menyebabkan terjadinya pergeseran pangsa DPK dari 11,7% pada akhir 2005 menjadi 12,3% pada akhir Mei 2011, kenaikan sebesar 0,4%.
Yang sangat menarik adalah terjadinya pergeseran kekayaan di antara provinsi di Pulau Sumatera. Riau yang selama ini memiliki DPK nomor dua tertinggi di Sumatera tergeser oleh Sumatera Selatan, tepatnya pada Desember 2009 yang sebelumnya berada di posisi ketiga.
Bahkan melihat posisi DPK pada Mei 2011, perbedaan DPK kedua provinsi tersebut melebar sampai lebih dari 12% dalam waktu hanya kurang dari dua tahun.Keadaan ini menggambarkan potensi yang luar biasa yang dimiliki Sumatera Selatan dewasa ini.
Di Pulau Kalimantan,DPK seluruh pulau tersebut pada akhir 2005 mencapai Rp45 triliun atau 4,2% dari seluruh DPK Indonesia.Pada akhir Mei 2011, jumlah DPK keempat provinsi di daerah tersebut meningkat menjadi Rp117,8 triliun atau menjadi 4,9% DPK seluruh Indonesia. Ini merupakan kenaikan pangsa sebesar 0,7%, suatu kenaikan yang jauh lebih tinggi dari seluruh Sumatera yang basisnya lebih besar.
Seluruh DPK Kalimantan tersebut ternyata sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan DPK Sumatera Utara yang pada akhir Mei 2011 tersebut mencapai sebesar Rp115,6 triliun dan mendekati DPK Jawa Tengah Rp121,6 triliun.
Dengan melihat pertumbuhan sebesar 162% dalam periode Desember 2005 sampai Mei 2011, sebaliknya pertumbuhan DPK di Jawa Tengah mencapai sebesar 122%; kita akan dapat menyaksikan DPK seluruh Kalimantan akan mulai melampaui Jawa Tengah dalam beberapa tahun atau mungkin bulan mendatang.
Khusus di Kalimantan, Provinsi Kalimantan Selatan yang dahulu berada pada posisi lebih tinggi dari Kalimantan Barat,dewasa ini mulai tampak mengejar kembali setelah beberapa tahun dilampaui oleh Kalimantan Barat.Kalimantan Tengah yang muncul belakangan juga memiliki tingkat kecepatan pertumbuhan yang tinggi meskipun dengan basis yang lebih kecil.
Pada akhirnya berbagai perkembangan tersebut akan mampu memberi arahan kepada dunia usaha Indonesia, ke mana mereka harus memasarkan produk-produknya. Tampak bahwa perkembangan di luar Jawa semakin memberikan daya tarik bagi pengembangan pasar industri yang berpusat di Jawa. Mudahmudahan perkembangan ini terus berlanjut sehingga gap antara Jawa dan luar Jawa menjadi semakin kecil. CYRILLUS HARINOWO HADIWERDOYO Pengamat Ekonomi
Suatu hal yang menarik adalah adanya semacam pengelompokan: daerah Jawa sangat kaya dengan jumlah sumber daya manusia, sedangkan luar Jawa sangat kaya sumber daya alam.Keadaan tersebut menjadikan Indonesia seakan memiliki natural hedge. Pada saat krisis moneter 1997–1998, ketika nilai tukar rupiah jatuh sangat dalam, Jawa,terutama Jakarta,sangat menderita dengan keadaan tersebut.
Namun, daerah Luar Jawa mengalami boom karena kenaikan pendapatan dari komoditas ekspor mereka. Adapun saat terjadi krisis finansial global tahun 2008–2009, luar Jawa mengalami penurunan pendapatan, sementara Jawa sedang mengalami boom. Secara keseluruhan pada 2009,ekonomi Indonesia masih tumbuh 4,5% lantaran boom perekonomian di Pulau Jawa.
Banyak industri manufaktur di Jawa yang waktu itu menurunkan proyeksi penjualannya lantaran kekhawatiran resesi ternyata harus secara cepat memenuhi stok komponennya karena ternyata permintaan produk mereka sangat tinggi. Demikianlah dinamika yang terjadi dalam perekonomian Indonesia hingga saat ini.
Dengan melihat keadaan itu,setiap kali terjadi pergeseran- pergeseran dalam pendapatan masyarakat di daerah pada akhirnya akan berujung juga pada pergeseran kekayaan yang tecermin dari tingkat tabungan mereka di perbankan berbagai provinsi.
Oleh karena itu merupakan suatu hal yang menarik untuk melihat perkembangan danadana perbankan (dana pihak ketiga atau DPK) perbankan demi melihat terjadinya pergeseran- pergeseran tersebut serta kenaikan yang terjadi sejak 2005 hingga data terakhir Mei 2011.
Untuk melihat pergeseran yang terjadi antara Pulau Jawa dan luar Jawa, kita melihat pada akhir 2005, DPK seluruh provinsi di Jawa berada pada posisi Rp830,6 triliun yang merupakan 77% DPK seluruh Indonesia. Pada Mei 2011, peranan DPK di seluruh Jawa tersebut mengalami pergeseran menjadi sebesar Rp1.797,6 triliun atau 74% dari seluruh DPK Indonesia.
Yang menarik, khusus untuk Jakarta, jumlah DPK pada 2005 mencapai Rp535,6 triliun atau sedikit kurang dari 50%, tepatnya 49,8%. Pangsa provinsi tersebut menjadi sebesar 47,6% dari DPK seluruh Indonesia.Ini berarti dari penurunan pangsa Jawa sebesar 3%,sebagian terbesar, yaitu 2,2%, sebetulnya dikontribusi oleh penurunan pangsa DPK DKI Jakarta.
Perkembangan ini pada akhirnya mengonfirmasi pendapat terjadinya pergeseran pendapatan di Indonesia. Daerah- daerah luar Jawa mengalami kemajuan lebih tinggi dibandingkan dengan Jawa, terutama Jakarta.Perbandingan ini masih harus ditambah dengan fakta bahwa banyak perusahaan yang operasinya di luar Jawa, tetapi transaksi keuangan dan perbankannya di Jawa, terutama Jakarta.
Sebagai contoh, perusahaan batu bara di Kalimantan Timur memiliki rekening utama mereka di Jakarta, bukan di daerah operasi mereka di Kalimantan Timur. Itulah sebabnya, perkembangan yang terjadi tersebut sebetulnya jauh lebih kuat daripada statistiknya.
Dengan kata lain,pergeseran pendapatan ke arah luar Jawa terjadi dalam skala kecepatan lebih tinggi dibandingkan dengan data yang tersaji di sini. Perkembangan menarik juga tampak dari luar Jawa.Pengelompokan daerah-daerah tersebut menjadi daerah luar Jawa tidak membuat perkembangan berbagai provinsi di luar Jawa menjadi homogen.
Bahkan banyak sekali terjadi pergeseran di daerah luar Jawa tersebut dan antarprovinsi di pulau masing-masing.Suatu hal menarik adalah perkembangan DPK di Sumatera. Daerah tersebut merupakan kawasan kedua sesudah Jawa yang mengalami perkembangan paling awal.
Secara total, seluruh provinsi Sumatera memiliki DPK sebesar Rp125,9 triliun pada 2005 dan menjadi Rp296,7 triliun,kenaikan sebesar 136% dalam jangka waktu lebih dari lima tahun tersebut.Perubahan itu menyebabkan terjadinya pergeseran pangsa DPK dari 11,7% pada akhir 2005 menjadi 12,3% pada akhir Mei 2011, kenaikan sebesar 0,4%.
Yang sangat menarik adalah terjadinya pergeseran kekayaan di antara provinsi di Pulau Sumatera. Riau yang selama ini memiliki DPK nomor dua tertinggi di Sumatera tergeser oleh Sumatera Selatan, tepatnya pada Desember 2009 yang sebelumnya berada di posisi ketiga.
Bahkan melihat posisi DPK pada Mei 2011, perbedaan DPK kedua provinsi tersebut melebar sampai lebih dari 12% dalam waktu hanya kurang dari dua tahun.Keadaan ini menggambarkan potensi yang luar biasa yang dimiliki Sumatera Selatan dewasa ini.
Di Pulau Kalimantan,DPK seluruh pulau tersebut pada akhir 2005 mencapai Rp45 triliun atau 4,2% dari seluruh DPK Indonesia.Pada akhir Mei 2011, jumlah DPK keempat provinsi di daerah tersebut meningkat menjadi Rp117,8 triliun atau menjadi 4,9% DPK seluruh Indonesia. Ini merupakan kenaikan pangsa sebesar 0,7%, suatu kenaikan yang jauh lebih tinggi dari seluruh Sumatera yang basisnya lebih besar.
Seluruh DPK Kalimantan tersebut ternyata sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan DPK Sumatera Utara yang pada akhir Mei 2011 tersebut mencapai sebesar Rp115,6 triliun dan mendekati DPK Jawa Tengah Rp121,6 triliun.
Dengan melihat pertumbuhan sebesar 162% dalam periode Desember 2005 sampai Mei 2011, sebaliknya pertumbuhan DPK di Jawa Tengah mencapai sebesar 122%; kita akan dapat menyaksikan DPK seluruh Kalimantan akan mulai melampaui Jawa Tengah dalam beberapa tahun atau mungkin bulan mendatang.
Khusus di Kalimantan, Provinsi Kalimantan Selatan yang dahulu berada pada posisi lebih tinggi dari Kalimantan Barat,dewasa ini mulai tampak mengejar kembali setelah beberapa tahun dilampaui oleh Kalimantan Barat.Kalimantan Tengah yang muncul belakangan juga memiliki tingkat kecepatan pertumbuhan yang tinggi meskipun dengan basis yang lebih kecil.
Pada akhirnya berbagai perkembangan tersebut akan mampu memberi arahan kepada dunia usaha Indonesia, ke mana mereka harus memasarkan produk-produknya. Tampak bahwa perkembangan di luar Jawa semakin memberikan daya tarik bagi pengembangan pasar industri yang berpusat di Jawa. Mudahmudahan perkembangan ini terus berlanjut sehingga gap antara Jawa dan luar Jawa menjadi semakin kecil. CYRILLUS HARINOWO HADIWERDOYO Pengamat Ekonomi
No comments:
Post a Comment