Thursday, 24 February 2011
PEMERINTAH mengakui Kawasan Pembangunan Ekonomi Terpadu (Kapet) tak mampu membangkitkan minat investor.
Demikian dibeberkan Menteri Keuangan Agus Martowardojo dalam rapat Komisi VI DPR RI kemarin yang mengundang prihatin sekaligus membuka mata kita bahwa program ekonomi untuk membangun wilayah Indonesia yang begitu luas masih unggul di atas kertas.Namun, pengakuan jujur tersebut kita harus hargai sehingga ke depan pemerintah bisa mengambil pelajaran di dalam membuat program ekonomi yang lebih realistis. Dalam periode 2005 hingga 2010,Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) hanya membukukan realisasi investasi dari 14 Kapet yang ada sebesar Rp27,5 triliun atau 3,41% dari total realisasi investasi nasional Rp809 triliun pada periode yang sama. Melihat angka realisasi investasi tersebut memang sangat disayangkan sebab pemerintah sudah mengeluarkan berbagai pemanis,tetapi nyatanya masih dilihat sebelah mata oleh investor.
Kapet yang ditetapkan melalui Keputusan Presiden Nomor 89 Tahun 1996 terkendala pada persoalan infrastruktur sebagaimana diinginkan investor sehingga segala kemudahan yang diberikan pemerintah seperti fasilitas insentif di bidang perpajakan tidak ada artinya. Hal tersebut diperparah dengan lahirnya berbagai free trade agreement (FTA) yang menawarkan berbagai fasilitas yang jauh lebih kompetitif yang diberikan pemerintah melalui Kapet. Selain itu,Kapet yang berjalan di tempat juga ditengarai terganjal oleh persoalan payung hukum berkaitan dengan pengoperasiannya misalnya posisi gubernur sebagai kepala badan pengelola Kapet yang tidak jelas kewenangannya.Namun,berbagai alasan yang dikemukakan pemerintah tersebut tetap dikritisi oleh para wakil rakyat yang tergabung dalam Komisi VI.
Pemerintah dinilai tidak fokus dan terlalu banyak program sehingga terjadi tumpang tindih misalnya munculnya program Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang pada intinya juga dimaksudkan merangsang investor untuk menanamkan modal di wilayah yang direstui sebagai KEK. Setelah melihat kegagalan Kapet sebenarnya sudah jelas bahwa persoalan utama di dalam memutar pertumbuhan ekonomi adalah ketersediaan infrastruktur yang tidak memadai. Meminjam istilah Kepala Ekonom Standard Chartered Bank Fauzi Ichsan, infrastruktur yang buruk adalah ”musuh” nomor wahid perekonomian negeri ini. Musuh lainnya adalah ketidakpastian hukum,aturan daerah,masalah buruh,perpajakan dan bea cukai,serta pembebasan lahan.
Karena persoalan infrastruktur tak kunjung dituntaskan,pertumbuhan perekonomian nasional tak mampu dikebut lebih kencang lagi.Pemerintah tampak puas dengan perolehan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,1% pada tahun lalu, padahal angka pertumbuhan tersebut bisa melesat hingga 8% seandainya tidak diganjal oleh buruknya infrastruktur yang ada. Selain wajib menggenjot pembangunan infrastruktur, pemerintah juga harus membuat prioritas pembangunan infrastruktur di luar Pulau Jawa. Dalam setiap seminar dan diskusi bertema ekonomi baik yang digelar pemerintah maupun pihak swasta, masalah infrastruktur selalu menjadi primadona pembahasan.
Dan, bisa ditebak rekomendasi akhir dari seminar atau diskusi tersebut adalah bagaimana pemerintah fokus membangun infrastruktur dengan mencontohkan China yang berhasil menggeser Jepang sebagai pendamping Amerika Serikat dalam keunggulan ekonomi, berkat pembangunan infrastruktur sebagai motor utama penggerak pertumbuhan ekonomi Negeri Tirai Bambu itu. Memang harus diakui untuk membangun infrastruktur yang memadai membutuhkan anggaran yang tidak kecil. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam beberapa tahun ini yang tembus di atas Rp1.000 triliun dinilai belum cukup untuk menghadirkan infrastruktur yang diharapkan investor.
Untuk menjawab persoalan di atas,pemerintah mengembangkan program yang bertajuk Koridor Ekonomi Indonesia (KEI) yang difokuskan untuk pembangunan infrastruktur. Pemerintah bertindak sebagai fasilitator dengan berbagai insentif terhadap pihak swasta yang berpartisipasi.Kita berharap KEI ini tidak terjangkit penyakit Kapet yang dijauhi investor.(*)
No comments:
Post a Comment