22 August 2011

Reviu RAPBN 2012

Pekan lalu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyampaikan RAPBN 2012 beserta Nota Keuangannya kepada parlemen. Acara itu merupakan ritual tahunan yang selalu diselenggarakan sehari sebelum peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. 


Penyampaian RAPBN terjadi pada saat negara-negara maju seperti Amerika Serikat, negara-negara di Eropa, dan Jepang sedang menghadapi masalah besar, khususnya terkait keuangan pemerintah mereka. Kita patut bersyukur, penyampaian RAPBN di Indonesia terjadi dalam keadaan keuangan Pemerintah Indonesia berada pada kondisi yang sedang “bagus-bagusnya”. 

Rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) terus menurun mendekati angka 20%, sementara defisit APBN disiapkan pada level 1,5% PDB di mana umumnya realisasinya sekitar 0,7% lebih rendah serta adanya kas pemerintah yang besar, yang menjadi bantalan bagi keuangan pemerintah. 

RAPBN yang berjumlah lebih dari Rp1.400 triliun itu meningkat di bawah 10%, lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan PDB nominal yang dewasa ini bergerak di sekitar 15%. RAPBN dengan postur demikian serta-merta mengundang banyak komentar. Intinya, RAPBN tersebut dianggap tidak “menggigit” (not inspiring). 

Kendati demikian, analisis berikut ini akan melihat berbagai aspek dalam RAPBN tersebut yang dapat menghargai usaha yang dilakukan pemerintah. Dalam perjalanan pembangunan dewasa ini, kita merasakan suatu perbedaan yang sangat mencolok antara karakter pembangunan di masa Orde Baru dengan pembangunan di masa Orde Reformasi. 

Di masa Orde Baru, perkembangan ekonomi Indonesia secara ketat ditarik oleh pemerintah (government led growth). Adapun sejak Orde Reformasi hingga saat ini pembangunan lebih banyak didorong sektor swasta (private sector driven growth).Perubahan semacam ini terjadi tanpa direncanakan, tetapi karena perubahan struktural yang disebabkan krisis moneter 1998. 

Pada saat krisis tersebut selama beberapa tahun pemerintah melakukan penyelamatan perbankan dan dunia usaha sekaligus. Pemerintah menyerap kerugian yang dialami perbankan dan dunia usaha sehingga pada akhirnya kedua pelaku ekonomi tersebut menjadi sehat kembali, sementara seluruh beban ditanggung pemerintah. 

Dengan sehatnya perbankan dan dunia usaha Indonesia, kita melihat perkembangan mereka yang meningkat sangat pesat dalam beberapa tahun kemudian hingga dewasa ini. Adapun pemerintah yang harus menanggung tambahan beban utang lantaran pemberian rekapitalisasi (penambahan modal) pada perbankan akhirnya harus merangkak lambat untuk bisa mengurai beban itu.

Pada masa itu rasio utang terhadap PDB bahkan sudah mendekati 100%, suatu tingkat yang dewasa ini dialami negara-negara besar seperti Jepang,Amerika Serikat, dan berbagai negara maju di Eropa. Pemerintah akhirnya berupaya melakukan konsolidasi keuangan. Beban utang diatur kembali, baik melalui negosiasi langsung maupun secara pasar, juga penyiapan RAPBN yang senantiasa konservatif dari waktu ke waktu. 

Itulah yang menyebabkan terjadinya private sector driven growth. Setelah keuangan pemerintah mengalami penguatan di zaman Dr Boediono sebagai menteri keuangan, turning point sebetulnya baru terjadi pada 2008, yaitu pada saat pemerintah melakukan penghematan anggaran karena terjadinya krisis keuangan global. 

Jadilah untuk pertama kali sisa anggaran terjadi dalam jumlah cukup signifikan. Sejak saat itu, sisa anggaran mulai berakumulasi sampai dewasa ini berjumlah lebih dari Rp100 triliun dan saat ini menumpuk di rekening pemerintah di Bank Indonesia. 

Dalam keadaan demikian sebetulnya pemerintah memiliki kesempatan untuk bergerak lebih lincah karena adanya “bantalan keuangan” yang sangat tebal. Ini berarti jika terjadi apa-apa dengan perekonomian, sehingga menyebabkan terganggunya keuangan pemerintah, adanya kekurangan tersebut dapat segera ditutupi oleh bantalan keuangan. 

Karena itu sungguh diharapkan terjadi kenaikan yang signifikan dari anggaran pemerintah yang ditujukan untuk pembangunan infrastruktur sebagaimana banyak dikeluhkan berbagai pihak. Dalam RAPBN 2012, kenaikan yang terjadi kurang dari 10%. Dalam keadaan normal, ini menggambarkan konservatisme berlebihan. 

Namun, melihat perbandingan dengan anggaran tahun sebelumnya (APBNP 2011),tampak kenaikan yang relatif kecil itu terjadi karena pembandingnya (yaitu APBN-P 2011) mengalami penggelembungan subsidi sehingga mencapai Rp237 triliun. Angka inilah yang dicoba ditekan pada 2012 sehingga subsidi direncanakan hanya mencapai Rp209 triliun, penurunan hampir Rp30 triliun. 

jumlah subsidi dibiarkan pada tingkat yang sama,RAPBN 2012 akan mengalami kenaikan yang lebih tinggi lagi. Dalam upaya penurunan subsidi,banyak hal yang harus dilakukan pemerintah, termasuk kenaikan tarif listrik pada 2012. Jika batas subsidi dapat terjaga pada level tersebut, pemerintah sudah dianggap berprestasi untuk menjaga kenaikan subsidi yang berlebihan. 

Kerja keras memang perlu dilakukan, terutama dalam pengereman subsidi bahan bakar minyak (BBM). Dalam RAPBN 2012, kita melihat lonjakan tinggi pada belanja pegawai, yaitu terjadinya kenaikan sebesar Rp32 triliun.Ini jelas kenaikan yang melebihi proporsinya.

Namun, dari penjelasan pemerintah, tampak kenaikan belanja pegawai tersebut, terutama dilakukan sebagai upaya penyelesaian reformasi kepegawaian yang berujung pada perbaikan remunerasi pegawai. Kita mendengar beberapa waktu lalu terjadinya kenaikan remunerasi pegawai di beberapa kementerian. 

Anggaran yang disiapkan dalam RAPBN 2012 ini adalah bagian akhir dari penyesuaian remunerasi itu. Ini berarti untuk tahun selanjutnya kenaikan belanja pegawai akan kembali “normal”, misalnya sekitar 10%. Dengan demikian pada RAPBN 2013 diharapkan akan terjadi ruang anggaran yang bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan belanja modal lebih lanjut. 

Dalam RAPBN 2012, kita melihat belanja barang, yaitu belanja rutin yang dilakukan oleh tiap kementerian, ternyata dicoba untuk dikendalikan atau bahkan diupayakan terjadi sedikit penurunan. Dengan upaya ini diharapkan terjadi kenaikan belanja modal yang lebih besar. 

Suatu hal menarik,belanja modal untuk 2012 yang akan datang telah disiapkan sebesar Rp168 triliun. Jumlah ini naik Rp27,2 triliun (19,3%). Secara relatif, kenaikan belanja modal ini jauh melampaui peningkatan anggaran belanja secara keseluruhan. 

Dengan melihat perkembangan ini, pada akhirnya kita perlu mensyukuri bahwa pemerintah memberikan perhatian yang lebih besar pada belanja modal untuk mempercepat pembangunan infrastruktur sebagaimana banyak dikeluhkan oleh masyarakat dan dunia usaha. 

Kenaikan hampir Rp30 triliun mampu untuk membiayai banyak proyek yang sudah disiapkan pemerintah. Secara keseluruhan, jumlah tersebut perlu ditambah lagi belanja modal yang dihasilkan oleh seluruh pemerintah daerah di Indonesia melalui APBD mereka. 

Ini berarti bukan tidak mungkin seluruh belanja modal yang terkonsolidasi pusat dan daerah akan mendekati level Rp300 triliun, suatu jumlah yang cukup besar untuk pembangunan di Indonesia. 

pemerintah dapat menyiapkan anggaran yang lebih bisa memberikan inspirasi dan motivasi di tahun-tahun mendatang demi menghasilkan akselerasi yang lebih tinggi bagi pembangunan ekonomi Indonesia. CYRILLUS HARINOWO HADIWERDOYOPengamat Ekonomi

No comments:

Post a Comment