25 March 2011

Napoleon Bonaparte (1769–1821), kaisar Prancis

Ada dua pendorong yang menggerakkan manusia: kepentingan dan rasa takut.

Mengapa Belum Terungkap?

Friday, 25 March 2011
Sejak pertama kali mencuat pada Selasa (15/3), peneror paket bom belum juga diungkap. Tepat sepuluh hari lamanya, aksi paling menonjol dari kepolisian adalah menyebarkan sketsa wajah kurir pengirim paket bom buku yang akhirnya meledak.


Tidak lebih dari itu. Jangankan otak pelaku bom buku, kurir yang sketsanya sudah digambar belum juga ketemu. Sementara di berbagai daerah paket bom buku masih terus menyisakan ketakutan.Warga masih dilanda kepanikan ketika menghadapi paket mencurigakan yang mereka terima. Satuan Gegana Polri pun berkali-kali mendatangi laporan penemuan paket mencurigakan. Selasa (22/3) misalnya sebuah kardus putih sempat menggegerkan Kampus Universitas Indonesia pada waktu yang bersamaan dengan kuliah umum Presiden Timor Leste, Xanana Gusmao.Petugas keamanan khawatir kardus itu berisi bahan peledak.

Kampus sempat geger. Tim penjinak bahan peledak segera mengamankan kardus itu.Ternyata, kardus itu berisi laptop yang baru saja dibeli seorang peserta kuliah umum. Kemarin, anggota Polda Sumbar direpotkan paket kardus dicurigai berisi bom yang ditemukan nelayan di kawasan Pantai Padang.Ternyata,tim gegana hanya menemukan kaleng berisi cat dan baterai. Pertanyaannya, mengapa begitu sulit bagi polisi untuk menemukan pelaku paket bom? Bukankah jika di nalar secara logika, lebih mudah mengungkap aktor di balik paket bom dibandingkan membongkar jaringan teroris yang sudah berakar. Mengimbau saja kepada masyarakat agar melapor jika menemukan barang mencurigakan tentu tidak cukup.

Untuk menghentikan keresahan, yang diperlukan adalah membekuk pelaku dan tentu saja jaringannya. Masyarakat tidak bisa disuruh bersabar. Jika belum juga terungkap, bukan tidak mungkin para pelaku makin leluasa meneruskan aksinya. Pelaku seakan menemukan ruang yang makin luas dan lebar untuk meneruskan aksinya.Kelanjutannya bisa seperti teori Jendela Pecah. Jika aksi yang kecil dibiarkan begitu saja, bukan tidak mungkin muncul aksi lanjutan dalam skala yang lebih besar. Ingat saja aksi bom berdaya ledak tinggi yang makin menjadi-jadi ketika jaringan pelakunya tak kunjung terungkap.

Sulit terungkapnya kasus paket bom juga bisa menipiskan kepercayaan masyarakat atas keberhasilan polisi dalam memberantas jaringan terorisme. Bukankah selama ini polisi berhasil mengungkap gembong teroris kelas kakap? Sukses yang dicapai berturut-turut hingga Polri mendapat apresiasi dari dunia internasional. Tetapi, mengapa untuk mengungkap paket bom buku masih kesulitan? Yang juga perlu diperhatikan, jangan sampai ada dugaan dari publik bahwa paket bom ini sengaja mainan pihakpihak tertentu demi tujuan politis. Kasus paket bom seharusnya menjadi tantangan besar bagi polisi. Bukan seharusnya menganggap sepele karena skalanya yang kecil dan targetnya perorangan.

Asal seluruh jajaran bekerja serius,pengungkapan kasus paket bom tidak akan rumit. Memberi ruang bagi kemungkinan peredaran paket bom lain akan sangat berbahaya. Bayangkan jika paket semacam ini meledak dalam sebuah alat transportasi. Bukankah risikonya akan sangat besar? Selain pengungkapan,yang paling mendasar adalah antisipasi agar paket serupa tidak makin meluas dan meresahkan masyarakat. Budaya menyepelekan segala sesuatu yang mencurigakan harus dihapus.

Aparat keamanan di mana pun dan dalam situasi apa pun harus selalu dalam status high alert.Tanpa ada perhatian lebih, setiap saat hantu paket bom akan terus mengusik rasa aman masyarakat. ● 

08 March 2011

WASIAT

Saturday, 05 March 2011
Setelah selama satu tahun diserang penyakit, tubuh Madra’ie semakin lemah. Untuk membalikkan tubuhnya saja, ia perlu bantuan orang lain. Padahal, umurnya baru sekitar 45 tahun. Menurut anggapan tetangganya, penyakit ini merupakan balak.


Semasa mudanya, Madra’ie pernah merebut warisan sepetak lahan orang tuanya yang diberikan kepada Marsinah,adik kandung Madra’ie. Setelah berbulan-bulan sakit tidak sembuh-sembuh,beberapa tetangga menyarankan agar warisan itu dikembalikan pada Marsinah. Namun, Madra’ie menolak saran tersebut.

Para tetangga berkumpul di teras rumah Madra’ie. Asap kemenyan tercium menyeruak memenuhi ruangan tempat Madra’ie terbaring kaku.Angin yang bertiup cukup kencang pada musim penghujan ini menerbangkan aroma kemenyan ke beranda depan, samping, dan belakang, bahkan ke rumah-rumah tetangga.Bau kemenyan inilah yang mengundang orang-orang berdatangan. Sanak famili Madra’ie mengaji di Alquran atau membaca salawat nabi. Di sebelah kanannya terdapat dua orang; Marsinah, adik kandung Madra’ie, dan Satipah, Istrinya. Sedangkan di sebelah kiri terdapat dua orang; Parto dan Mat Rasul. Mereka adalah putra-putra Madra’ie yang baru selesai mengikuti khataman Alquran di musala Kiai Sholeh.

Kamar berukuran 4 m X 6 m itu semakin dipenuhi tetangga dekat. Aroma kemenyan semakin menghentak gelap malam. Burung hantu yang bertengger di pohon mangga belakang rumah, seperti menanti detik-detik kematian Madra’ie. Bahkan, sore tadi burung gagak yang tak biasa hinggap di bubungan rumah, seperti menyampaikan kabar duka dengan bunyi kaok-kaok-nya. Aroma kemenyan kemudian menghilang. Kedua bola mata Madra’ie semakin terkatup. Seperti kelopak mawar yang enggan menyambut mentari pagi. Lantunan ayat suci dan salawat nabi semakin keras.Aku sempat mengintip bola mata kedua putra Madra’ie yang mengaji Alquran. Air matanya mengalir dengan deras. Sedangkan Marsinah yang duduk di sebelah kanan Madra’ie tampak lemah kemudian pingsan. Ia kemudian digotong ke ruang tengah yang berdempetan dengan kamar Madra’ie.

Kedua bibir Madra’ie seperti bergerak- gerak.Namun,suaranya tak terdengar. Orang-orang yang mengaji Alquran dan yang membaca salawat nabi menurunkan volume suaranya. Suparto dan Mat Rasul mendekatkan daun telinganya ke bibir sang ayah. ”Parto..., sediakan dua kapak! Aku ingin berperang dengan Malaikat!” Madra’ie mengulangi permintaannya. Bergidik bulu roma Suparto mendengar wasiat sang ayah.Orang-orang yang masih berada di ruang itu saling pandang.Sebagian lagi ada yang semakin mengalirkan air matanya.Dan beberapa saat kemudian, penantian burung hantu dan kabar dari burung gagak itu mengisyaratkan kebenarannya. Menjelang tengah malam, Madra’ie ditangisi untuk kali terakhir.

”Kita harus memenuhi wasiat ayah,” Mat Rosul berunding dengan Suparto dan Kadir,keponakan Madra’ie. ”Jangan! Jangan lakukan wasiat itu. Membahayakan!” Kadir mencegah keinginan Mat Rosul. ”Tapi ini wasiat!” Suparto menimpali dengan nada tinggi. ”Ya.Wasiat harus dijalankan. Jika tidak, kita bisa kualat!” Mat Rosul melanjutkan. Akhirnya, dibuatlah kesepakatan bahwa wasiat itu harus dijalankan. Dengan syarat, hal ini tidak boleh diketahui oleh siapa-siapa.Cukup tiga orang yang tahu.Marsinah dan Satipah juga tak boleh tahu mengenai hal ini.

Dalam kondisi seperti itu, Kadir menyelinap pergi mencari kapak ke rumah tetangga. Ia tidak mungkin pergi ke pasar hanya untuk membeli kapak. Maka jalan keluarnya, harus meminjam milik tetangga, dan baru diganti setelah prosesi pemakaman selesai. Ketika ditanya untuk apa kapak tersebut, jawabannya sangat mudah, yaitu untuk keperluan pemakaman. Hingga siang hari,mayat Madra’ie masih terbujur kaku di teras depan.Ini menunggu pelaksanaan salat gaib yang tak kunjung dilaksanakan. Beberapa pelayat mulai gelisah.Sesekali di antara mereka melihat jalan setapak yang menuju halaman rumah dengan harapan, Kiai Sholeh muncul dari balik rerimbun pohon jagung yang menghiasi jalan setapak itu.Namun, Kiai Sholeh tak kunjung datang.Kadir berusaha menjemput Kiai Sholeh untuk memimpin salat gaib.

Di sana ia ditemui oleh seorang pembantunya. Menurutnya, Kiai Sholeh baru berangkat ke Jakarta untuk mengikuti sidang paripurna di Gedung DPR RI. Kadir langsung menuju dalemKiai Nur Salam. Ia termasuk tokoh masyarakat yang tinggal di desa sebelah, sekitar satu kilo ke arah tenggara dari kediaman Kiai Soleh. Sebagaimana Kiai Sholeh,Kiai Nur Salam juga tak ada di rumah. Menurut laporan seseorang, Kiai Nur Salam ada di rumah istri mudanya di luar kota. Kadir pulang dengan tangan hampa. Para pelayat semakin gelisah. Sebab, di teras depan muncul aroma tak sedap. Kali ini bukan bau kemenyan sebagaimana tadi malam menyeruak di kamar Madra’ie.Ada semacam bau bangkai tikus yang menyeruak memenuhi rumah itu.

Pandangan para pelayat tertuju pada jenazah Madra’ie. Agar kondisi tidak semakin gawat, dipilihlah salah satu di antara para pelayat untuk memimpin salat gaib. Langit semakin menampakkan wajah duka. Orang-orang juga merasakan hal yang sama.Mereka semakin gelisah. Kali ini bukan karena wasiat Madra’ie, bukan pula karena bau bangkai yang memenuhi teras depan. Pelayat yang menjadi imam salat jenazah bukan di antara mereka yang terbiasa menjadi imam, melainkan Hasan, tukang angkut kotoran sapi ke kebun.Yangmenggelikan,salatjenazah yang dipimpin Hasan tidak seperti biasanya,melainkan menggunakan rukuk dan sujud.Inilah yang menyebabkan prosesi ini semakin runyam. Namun, tak seorang pun yang mempermasalahkan pelaksanaan salat jenazah ini.

Tak lama kemudian,mayat itu dibawa ke liang lahat. Di sana Suparto dan Mat Rosul sibuk membaringkan ayahnya pada liang lahat yang tak seberapa lebar itu. Sesuai rencana sebelumnya,merekalah yang akan meletakkan dua kapak wasiat yang akan menemani ayahnya ”berperang” dengan Malaikat. Mat Rasul sudah mempersiapkan kedua kapak itu sebelum iring-iringan jenazah sampai di area kuburan. Kedua kapak itu dipendam dengan kedalaman hanya 15 sentimeter. Setelah mayat berbaring dan menghadap kiblat, tali yang mengikat kapak tinggal ditarik sedikit.Maka kapak itu akan keluar sebagai bekal Madra’ie menuju sang khalik.

Inilah taktik Kadir agar rencana penguburan dua kapak tidak terbongkar. Mat Rosul,Suparto, dan Kadir menarik nafas lega,setelah prosesi penguburan selesai.Bisa dipastikan, para pelayat yang mengantar jenazah tak ada yang mengetahui. Beberapa saat kemudian, mereka pulang diiringi ledakan hujan yang membelah langit.Area kuburan becek dengan tanah. Seminggu kemudian, Kiai Sholeh datang dari Jakarta. Inilah yang membuat hati Mat Rasul dan Suparto digelayuti rasa cemas. ”Saya mendengar bahwa ayahmu berwasiat agar waktu penguburan disertakan kapak.Ehm, tapi maaf, ini hanya laporan warga.

Jika ini benar, maka kuburan itu harus dibongkar!” Mendengar kata ’dibongkar’,wajah Mat Rosul dan Suparto menjadi merah. Di benaknya penuh dengan tanda tanya,mengapa prosesi penguburan ini kokberbelit-belit dan rumit. ”Itu tidak benar,Kiai! Itu fitnah yang sengaja dilontarkan untuk merendahkan harkat dan martabat keluarga kami,terutama bagi almarhum.” ”Wong yang melapor peristiwa ini masih termasuk di antara keluarga kalian.” Suparto terdiam. Mat Rosul juga seperti tak memiliki sepatah kata pun untuk disampaikan. ”Baik, kalau Kiai tak percaya perkataan saya, silakan dibongkar saja kuburan itu.” Pagi-pagi buta. Beberapa orang berkumpul untuk membongkar kuburan Madra’ie. Marsinah dan Satipah berdiri di bawah pohon kamboja, sekitar 10 meter dari kuburan Madra’ie.

Sedangkan Suparto dan Mat Rosul berdiri di dekat orang yang menggali kuburan itu.Hati Mat Rosul seperti akan diserang gempa tektonik. Bagaimana nanti setelah diketahui bahwa dua buah kapak itu betul-betul ada. Alasan apa yang harus disampaikan kepada warga, terutama kepada Kiai Sholeh yang kini berada di antara mereka. Tiga orang yang menggali kuburan itu terlihat ragu. Sesekali mereka menatap wajah Mat Rosul dan Suparto. Namun, tugas tersebut tetap dilanjutkan, sesuai kesepakatan. Setelah hampir setengah jam berlalu,kini tiba saat yang sangat mendebarkan. Sebagian kain kafan sudah terlihat jelas, sebagian lagi masih tertutup tanah. Mat Rosul dan Suparto mundur beberapa langkah. Mereka menoleh ke kiri dan ke kanan,seperti menyiapkan sesuatu untuk meninggalkan tempat tersebut.

Namun, ini tidak mungkin. Sebab, almarhum Madra’ie bukan siapa-siapa,melainkan ayah kandungnya sendiri yang merawat dan membesarkan hingga menjadi orang dewasa. Deg deg deg! Seperti inilah detak jantung Suparto dan Mat Rosul ketika butiran-butiran tanah yang menutupi kain kafan Madra’ie mulai terbuka. Mat Rosul berpikir, ini bukan sekadar tabir yang menutupi tubuh almarhum, akan tetapi ini adalah tabir yang akan membuka rahasia wasiat dua kapak yang diikutkan pada almarhum seminggu yang lalu. Orang-orang yang menghadiri pembongkaran mayat ini seperti tak berkedip. Mereka ingin menyaksikan mayat Madra’ie setelah dikubur seminggu yang lalu.

Mereka ingin mengetahui siksa yang diturunkan kepada Madra’ie setelah diisukan ’merebut’ warisan Marsinah. Mereka juga ingin mengetahui rahasia–orang menyebutnya ’kapak maut’–kapak yang sempat dihubunghubungkan dengan wasiat Madra’ie sebelum meninggal. Beberapa saat kemudian, mayat tersebut berhasil diangkat dari liang lahat. Inilah saat-saat yang menegangkan. Sekitar seratus warga yang hadir berdesak-desakan seperti ingin melihat sebuah tontonan ajaib.Begitu juga Suparto dan Mat Rosul. Mereka mulai berada di garis paling depan, setelah Kiai Sholeh memanggilnya dengan kedipan mata. Begitu juga Marsinah dan Satipah. Sedangkan Kadir, berjubel pada baris bagian belakang.

Seluruh tubuhnya juga dibanjiri keringat. SupartodanMatRosulmenariknafas lega,setelah semuanya berjalan dengan lancar.Kain kafan yang menutupi tubuh Madra’ie masih utuh.Kapas-kapas yang melekat pada bagian tubuh tertentu juga masih utuh, seperti mata, telinga, hidung, dan lain sebagainya. Mereka menyaksikan bahwa semua tak ada yang ganjil. Tak ada kapak. Juga tak ada sesuatu yang mencurigakan. Setelah disaksikan para pelayat, mayat itu kembali dibaringkan pada liang lahat. Sedangkan Marsinah pingsan di antara kerumunan orang. Inilah kemenangan Suparto dan Mat Rosul. Orang-orang percaya bahwa ’kapak maut’ yang diwasiatkan Madra’ie ternyata tak dilaksanakan oleh kedua putranya itu.

Sebelum matahari menuju beduk zuhur,orang-orang meninggalkan area kuburan yang masih becek setelah turun hujan kemarin sore.Kini tinggal Suparto dan Mat Rosul yang berdiri mematung di area kuburan itu. Sebelum meninggalkan tempat itu, Mat Rosul berbisik pada Suparto, ”Parto, dari balik kapas, aku tadi sempat melihat kedua belah mata ayah melotot seperti baru saja menelan benda keras.” SUHAIRI RACHMAD

Dialog Pagi Hari Kepala Desa Termuda



Sunday, 06 March 2011
Pagi hari datang seperti biasa di Desa Gaojie, Provinsi Shaanxi, China. Warga desa mulai mematikan lampu murah dan siap beraktivitas.


Yang tidak biasa adalah keberadaan Bai Yitong,kepala desa perempuan pertama sekaligus termuda sepanjang sejarah Gaojie. “Selamat pagi.Ada yang bisa saya bantu?”tanya Bai kepada seseorang yang menghubungi telepon genggamnya. Tak ada nada kantuk dari suara Bai. Sapaannya pagi itu justru terdengar tegas dan bersemangat. Padahal, matahari belum juga muncul sempurna. Sikat dan pasta gigi pun masih berdekap di tangan kirinya. “Jadi,apakah persoalan air di rumah saya akan dibicarakan pada rapat perangkat desa?” tanya lawan bicara Bai. Pertanyaan itu lantas disambung dengan jawaban Bai,yang lagi-lagi terdengar tegas. Dialog pagi itu hampir terjadi setiap hari sejak Bai menempati jabatan kepala desa.

Dan seperti biasanya,Bai selalu menanggapi keluhan terpagi setiap hari dengan nada bersemangat. Bagi Bai, dialog tidak langsung sebelum matahari terbit adalah sebuah konsekuensi. Dialog itu adalah bagian dari pekerjaan barunya sebagai kepala desa. Ketika dialog menjadi sebuah konsekuensi, maka Bai harus menyingkirkan rasa kantuk dan menunda segala aktivitas rutin di pagi hari. Itulah Bai,si kepala desa termuda. Pada usia 19 tahun, dia sanggup mengalahkan seorang lelaki lebih tua yang menjadi pesaing dalam pemilihan Kepala Desa Gaojie.Pada usia semuda itu,Bai mengurusi segala perkara yang menyangkut warga desa Gaojie.Sungguh,suatu pekerjaan yang tidak mudah. Kini usia Bai baru memasuki 21 tahun.

Pada umur seremaja itu, Bai sudah menyusun dan mengeluarkan berbagai keputusan penting di Gaojie. Bai bukan sekadar anggota Partai Komunis China yang berkuasa.Gadis 21 tahun itu tidak cuma bergelar kepala desa termuda. Dia adalah Bai, perempuan muda berpendidikan tinggi yang berhasil mengepalai sebuah desa di kawasan pegunungan Shaanxi. Meski usianya baru lepas 20 tahun, Bai sanggup tegar sebagai kepala desa.Dia memimpin Desa Gaojie dengan ketangguhan serta keberanian luar biasa. Dia adalah tipe perempuan yang bisa bicara blakblakan, tanpa takut mendapat kritik atau mungkin pula serangan. “Saya maju dalam putaran pemilihan (kepala desa) tanpa sebelumnya menjadi anggota Partai Komunis. Saya bergabung (dengan Partai Komunis) setelah pemilihan,” paparnya kepada CNN.

Ketika beberapa orang berdiri bangga kala terpilih sebagai pejabat, ternyata tidak demikian dengan Bai. Dia justru menganggap jabatan barunya sebagai tantangan. Pengalaman, itu sebenarnya yang tengah dicari Bai. Dan pengalaman itu tidak lagi bersifat “biasa- biasa”. Bayangkan, setiap hari Bai mendengar keluhan warga desa. Keluhan mereka pun beragam. Ada keluhan yang mungkin bisa diselesaikan anak buah Bai. Namun, ada kalanya keluhan itu membuat Bai turun tangan secara langsung.Meski lingkupnya desa, Gaojie juga menyimpan banyak masalah. Terlebih yang berkaitan dengan ketenagakerjaan. Bukan rahasia kalau para pemuda desa di pedalaman China berlomba menuju kotakota besar.

Tujuannya satu, demi memperoleh pekerjaan berpenghasilan layak.Bai melihat fenomena itu sejak dia kecil. Bai sungguh mengalami bagaimana orang-orang dari perdesaan China begitu kesulitan mencari kerja hingga harus pergi meninggalkan desa-desa mereka. Bai termasuk gadis beruntung. Dia dibesarkan dalam keluarga berkecukupan. Tidak heran bila Bai bisa mengenyam pendidikan tinggi.Yang mengherankan, Bai tidak ingin berlama- lama tinggal di lingkungan perumahan orang tuanya. Dia memilih pergi ke Provinsi Saanxi, kawasan yang kualitas airnya cukup buruk.

“Teman-teman saya pergi ke kota-kota besar. Sebagian besar bekerja di perusahaan ternama dan melanjutkan kuliah,” katanya mengawali cerita. Kepada teman-temannya, Bai bercerita tentang kondisi perdesaan di Saanxi,termasuk Gaojie. Bai kemudian merintis suatu pergerakan untuk memperbaiki kualitas air Gaojie. Dia merasa bersyukur, karena sang ayah mendukung rencana Bai dan kawan-kawannya.“ Ayah meyakinkan bahwa saya bisa,” cetusnya.

Program perbaikan kualitas air di Gaojie pun berjalan lancar.Bai pun mendapat kepercayaan warga setempat.Kepercayaan itu akhirnya mengantarkan Bai menjadi kepala desa perempuan pertama sekaligus termuda di Gaojie.

ANASTASIA IKA  

Mengatasi Kebiasaan Anak Gigit Kuku

Wednesday, 02 March 2011

Tidak perlu memarahi anak yang punya kebiasaan menggigit kuku karena perilaku tersebut biasanya dilakukan tanpa sadar. Bicarakan secara lembut dan bantu dia mengatasinya.

Buah hati Anda memiliki kebiasaan menggigiti kukunya? Mungkin berbagai cara sudah Anda coba untuk menghentikannya. Mulai dari memberi tahu dengan lembut, memarahi, membentak, hingga mengancam. Namun, sama seperti orang dewasa, menghentikan kebiasaan itu bukanlah hal yang mudah. Butuh waktu, ketekunan, dan kesabaran untuk mendapatkan perubahan yang diinginkan.

Anak sering menggigit kukunya untuk sejumlah alasan. Misalnya karena penasaran, untuk membuang kebosanan, menghilangkan stres, atau karena memang kebiasaan saja. Menggigit kuku adalah yang kebiasaan yang paling umum dilakukan dalam keadaan gugup atau gelisah, termasuk mengisap jempol, menggosok hidung, memilin rambut, atau gigi gemeretak. Biasanya, kebiasaan tersebut bisa berlanjut hingga dewasa.

Dari persentase pelaku diketahui, sekitar sepertiga dari anak yang duduk di bangku sekolah dasar dan setengah dari para remaja menggigit kuku mereka. Antara seperempat hingga sepertiga dari mahasiswa mengakui masih menggigit kukunya. Menggigit kuku sering kali merupakan cara untuk melepaskan ketegangan yang intens namun hanya sementara, pada masa kanak-kanak. Semua anak umumnya memiliki perasaan gelisah.

Belajar sesuatu yang baru di sekolah atau merasa malu berada di sebuah pesta atau di tempat bermain umum bisa jadi pemicunya. Jika anak menggigit kukunya, terutama pada saat-saat seperti ini, mungkin itu hanya caranya mengatasi stres atau menghibur dirinya sendiri. Dalam hal ini Anda tidak perlu terlalu khawatir. Dalam semua kemungkinan, anak prasekolah Anda akhirnya nanti akan berhenti sendiri.

Tetapi jika hobi menggigit kukunya berlangsung lebih lama daripada yang Anda inginkan atau jika kebiasaan tersebut tidak bisa Anda tolerir lagi, ada sejumlah cara sederhana untuk membantunya berhenti. Yang pertama, Anda harus mempertanyakan kegelisahan apa yang dia alami.

“Tanggapan awal orang tua ketika anak-anak mulai melakukan sesuatu yang dianggap mengkhawatirkan adalah mencoba untuk menghentikan perilaku tersebut. Itu sebenarnya baik sebagai tujuan jangka panjang,” kata pakar pengasuhan keluarga Janis Keyser yang juga penulis pendamping buku Becoming the Parent You Want to Be. ●rendra hanggara

James Stephens (1882–1950), pujangga dan pendongeng asal Irlandia

Rasa ingin tahu akan mengalahkan rasa takut, bahkan melebihi keberanian yang kita kehendaki.

Sekolah Tinggi, untuk Apa?


Saturday, 05 March 2011
Pernahkah Anda bayangkan bahwa Anda atau anak Anda terlalu terdidik untuk sebuah pekerjaan? Master dari Amerika,tapi di Tanah Air harus bekerja dengan gaji Rp5 juta?


Menjadi arsitek idealis, tapi akhirnya harus bikin rumah yang tampak seperti kue ulang tahun di kompleks dengan nama-nama seperti Barcelona atau Venesia? Tidak sebanding dengan biaya pendidikan yang telah dikeluarkan ataupun pengetahuan yang didapatkan. Sebagai orang yang tidak punya ijazah (maklum seniman) saya boleh tertawa. Saya tidak pernah terlalu berpendidikan untuk pekerjaan apapun. Saya memang selesai kuliah, tapi tidak pernah mengambil ijazah.Ini barangkali karena jengkel pada sistem pendidikan kita. Saya jadi teringat MAW Brouwer, seorang pakar pendidikan di zaman Soeharto. Dia berkata, Indonesia tidak perlu terlalu banyak SMA.

SMA hanya untuk anak dengan kecerdasan di atas rata-rata, tulisnya– sesuatu yang tidak bisa saya pahami pada 1980-an. Menurut Romo Brouwer, yang dibutuhkan adalah sekolah kejuruan. Lulusannya tidak perlu hafal teori macammacam, tetapi siap bekerja. Mereka juga tidak perlu sekolah lama-lama. Mereka bisa seg e ra produktif. Artinya, prioritas pendidikan bagi mayoritas anak muda bukanlah menjadikan mereka Albert Einstein (sebab orang jenius tidak pernah mayoritas), melainkan menjadikan mereka cakap dan terampil. Sungguh,20 tahun silam saya tidak mengerti pendapat itu. Baru belakangan ini saya paham.

Pertama, ketika melihat generasi yang lulusan luar negeri atau bahkan lulusan sekolah elit,yang jika mereka harus mencicil kembali biaya kuliah tentulah tak akan lunas dalam dua puluh tahun.Artinya,jika dihitung dari nilai uang,pendidikan adalah modal yang takkan kembali. Kedua, mengetahui bahwa di banyak neg a r a Eropa sekarang terjadi pengangguran besar generasi muda terdidik, untuk pertama kali dalam sejarah. Mereka bergelar S2 atau S3, tetapi tidak bisa menemukan pekerjaan yang sebanding.Pekerjaan kerah putih yang tersedia tidak menawarkan gaji memuaskan.Sementara pekerjaan kerah biru diambil pendatang.

Maaf.Ini tidak hanya terjadi di Eropa, tetapi juga di Asia, di area yang generasi mudanya mulai menjadi sangat terdidik secara formal.Pasar pekerjaan ternyata tidak membutuhkan kualifikasi setinggi itu.Karena itu, hmm, tiba-tiba saya mendengar pertanyaan yang zaman dulu hanya diajukan bagi anak perempuan: untuk apa sekolah tinggi-tinggi? Ya, untuk apa sekolah tinggi- tinggi? Pertanyaan itu pantas diajukan lagi, tapi dengan cara berbeda. Bukan berarti kita tidak ingin pintar.Namun, karena gelar sarjana bukan setara dengan kepandaian dan kecakapan.Kematangan ilmu maupun praktik tidak hanya bisa didapat dari sekolah.Pertanyaan ini pun harus diajukan dengan kesadaran bahwa manusia tidak hanya belajar ketika dia berada di sekolah.Manusia harus senantiasa belajar sepanjang hidupnya.

Yang terjadi sekarang adalah kita terjebak formalisme. Keluarga kelas menengah gengsi jika anakanak tidak bergelar. Bursa pekerjaan pun menuntut status sarjana. Lembaga pendidikan menjadi bisnis ijazah. Ini menjadi sejenis ekonomi biaya tinggi. Di banyak negara Eropa sekarang, cendekiawan muda sulit dapat pekerjaan.Namun, di Indonesia lebih menyedihkan, orang-orang harus membeli waktu dan diploma hanya untuk bisa melamar kerja.Untuk menjadi satpam, misalnya, seseorang tidak perlu gelar sarjana. Dia hanya perlu kecakapan, badan kuat,dan akal sehat. Betapa sia-sia waktu dan biaya “membeli” S1.

Sementara seharusnya dia layak bekerja lebih dini dengan nilai modal lebih kecil. Surplus master dan doktor yang terjadi di Eropa,dan mulai juga di beberapa negara Asia, pantas membuat kita menyusun ulang strategi pendidikan kita. Sekolah tinggi bukan untuk dapat pekerjaan. Percayalah, jika memang ilmu yang kita inginkan, kita masih bisa tetap sekolah di usia tua.

PDIP Tanggapi Dingin Tawaran Menteri dari PD

Elvan Dany Sutrisno - detikNews

Jakarta - PDI Perjuangan menegaskan jika hingga hari ini belum ada tawaran menteri dari Presiden SBY. PDIP tidak akan ikut campur dalam evaluasi koalisi.

"Secara resmi tidak ada tawaran. Saya sebagai Sekjen nggak pernah ada perintah dan nggak pernah ada rapat membahas itu," ujar Sekjen PDIP, Tjahjo Kumolo kepada detikcom, Selasa (8/3/2011).

Tjahjo menuturkan, PDIP tak mau ikut mencampuri dapur evaluasi koalisi yang sedang dilakukan Presiden SBY. Evaluasi koalisi adalah urusan partai politik yang tergabung dalam koalisi pemerintahan.

"PDIP tidak akan menempatkan posisi politiknya untuk ikut campur dalam suatu masalah rumah tangga partai, tidak melibatkan secara langsung maupun tidak langsung atas permasalahan internal," terang Tjahjo.

Lebih lanjut, Tjahjo mengatakan jika PDIP juga tidak mau dijadikan pemain pengganti di tengah evaluasi koalisi. PDIP enggan terlibat permainan politik partai lainnya.

"Posisi partai kami jelas, kami ingin berkoalisi dengan rakyat. Soal Presiden mau keluarkan partai lain itu hak Presiden. Kami hanya mengingatkan pemerintahan ini presidensiil bukan pemerintahan koalisi sepenuhnya di tangan presiden," jelasnya.

Sebelumnya, Partai Demokrat (PD) bersikeras menarik perhatian PDIP agar mau dipinangnya. Bahkan disebut-sebut, jika PDIP menerima lamaran, maka PD akan menawarkan posisi menteri sosial, menteri BUMN dan menko kesra.

"Demokrat melihat pos ekonomi kerakyatan di Kementerian Sosial, Kementerian BUMN dan Kementerian Kesejahteraan Rakyat sangat cocok diserahkan kepada PDIP yang bervisi pada kerakyatan," sebut Ketua Bidang Keuangan DPP PD Ihsan Modjo.

Pengadilan Khusus Pilkada, Perlukah?

Tuesday, 01 March 2011
Wacana pembentukan badan peradilan khusus sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada) memiliki kelebihan dan kekurangan. Pemerintah harus mengkaji mana yang paling rasional dan efisien demi sistem pemilihan yang lebih berkualitas.

BARU-baru ini sejumlah pihak kembali mendesak pemerintah agar membuat pengadilan khusus yang menangani sengketa pilkada. Alasannya, jumlah gugatan yang dilayangkan ke Mahkamah Konstitusi (MK) semakin banyak,bahkan hampir mencapai jumlah pelaksanaan pilkada itu sendiri. Pada 2010 telah diselenggarakan 246 pilkada di tingkat provinsi, kabupaten, maupun kota. Pada saat yang sama,MK juga menerima 230 gugatan hasil pilkada. Berdasarkan asalnya, dari 246 daerah yang telah melangsungkan pilkada, 168 di antaranya bersengketa di MK.

Artinya hampir70% daerahbermasalah dengan pilkada.Hanya 78 daerah yang ”bersih” dari sengketa.Munculnya 230 sengketa karena dari 168 daerah ada yang melayangkan gugatan lebih dari satu.Ini baru pilkada kurun 2009–2010. Pada tahun ini hingga 2014 nanti masih akan berlangsung 278 pilkada sehingga potensi sengketa semakin besar. Sejak penyelesaian sengketa pilkada resmi dialihkan dari Mahkamah Agung ke MK pada 2008 melalui revisi terbatas Undang-Undang No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, MK tidak pernah sepi menerima gugatan.

Jika ditotal,sampai Februari 2011 lembaga ini telah menerima 298 gugatan pilkada (lihat grafis). Dari jumlah itu, 278 di antaranya sudah diputuskan dan 20 sisanya masih menumpuk di meja kerja hakim konstitusi. Dari jumlah gugatan yang dikabulkan untuk diuji, 187 gugatan ditolak,54 tidak diterima, empat ditarik kembali dan satu gugur. Jika hal ini berlangsung terus-menerus akan berpengaruh terhadap kualitas pilkada. Selain itu, sistem gugatan pilkada yang sentralistik juga akan menguras energi dan biaya pihakpihak yang beperkara serta hakim konstitusi.

Yang lebih parah, sengketa pilkada dapat berefek negatif bagi pendidikan demokrasi. Peneliti senior Centre for Electoral Reform (Cetro) Refly Harun mengatakan, untuk mengantisipasi banjirnya gugatan ke MK sebaiknya dibentuk pengadilan khusus pemilu.Pengadilan itu nantinya menangani dugaan tindak pidana dalam proses penyelenggaraan pemilu.”Pengadilan ini nantinya disebar di seluruh badan peradilan umum, seperti Pengadilan Negeri,Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung,” ujar Refly beberapa waktu lalu.

Usulan ini senada dengan yang disampaikan pemerintah.Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi menegaskan, pemerintah akan mengkaji sistem pengajuan gugatan pilkada di masing-masing daerah agar ke depannya sengketa pilkada dapat diselesaikan secara lebih efisien. “Dipusatkannya gugatan di Jakarta (MK) itu biayanya tidak kecil.Ambil contoh sengketanya di Papua, berkasnya harus dibawa ke Jakarta berapa itu biayanya?” ungkap Gamawan.

Di sisi lain,DPR masih belum sepakat badan peradilan khusus sengketa pilkada.Anggota Komisi II dari Partai Demokrat Djufri mengatakan, usulan tentang pengadilan khusus pidana pemilu harus dikaji ulang. “Kita harus mempertimbangkan efektivitas dan efisiensinya. Sangat pentingkah atau cukup memaksimalkan kinerja lembaga- lembaga terkait?”katanya (SINDO, 18/1).Djufri mengingatkan,bila pilkada masuk rezim pemilu, penyelesaian sengketanya tetap di MK.

Terlepas dari pro dan kontra di atas, penting kiranya pemerintah memasukkan usulan ini ke dalam agenda pembahasan RUU Pemilu karena pilkada masuk dalam rezim UU Pemilu. Penggodokan itu harus memasukkan berbagai pertimbangan akan seperti apa badan peradilan khusus pilkada yang dimaksud dan seberapa besar urgensi pembentukan badan tersebut.

Perlu atau tidak perlunya membentukpengadilankhususpilkadasebenarnya dilematis. Pembentukan pengadilankhusussengketapilkadadibutuhkan apabila dilihat dari sisi bahwa pilkada yang disengketakan kerap terbentur tahapan proses pilkada itu sendiri.Terlebih bila gugatan tersebut dilayangkan pada masa-masa “krusial”, misalnya sebelum proses pemungutan suara atau penetapan pemenang pilkada. m azhar/litbang SINDO