18 January 2011

Klaim,Fakta,dan Kebebasan Berpendapat

Monday, 17 January 2011
Ada beberapa peristiwa yang terjadi secara kebetulan pada pekan kedua Januari 2011.Kendatiterjadisecara kebetulan, semuanya tetap menarik perhatian publik.

Sebaliknya, peristiwa-peristiwa itu mungkin kurang menyenangkan bagi pemerintah. Pekanlalu, pemerintah memang seperti diguyur kritik yang sangat keras.Senin (10/1) menjelang siang, perhatian sebagian masyarakat tertuju ke acara HUT PDIP di Lenteng Agung. Banyak orang menyimak pidato Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Bisa ditebak, mantan presiden itu melancarkan kritik pedas ke pemerintah.Dia menilai pemerintah lebih mementingkan pencitraan.

Perilaku yang kemudian disebutnya sebagai bencana mental. Masih di hari yang sama, para tokoh lintas agama tidak lagi sekadar mengkritik.Mereka bahkan mengecam dan menuduh pemerintah melakukan kebohongan publik. Esensi dari kecaman dan tuduhan para tokoh agama itu sama dengan kritik Megawati. Hanya, pilihan kata-katanya yang berbeda. Di luar dugaan, tokoh-tokoh lintas agama menggunakan katakata sangat tegas-lugas dalam menyuarakan pendapatnya.

Itulah jadinya jika klaim pemerintah bertolak belakang dengan realitas kehidupan rakyat. Dua hari kemudian,Rabu (12/1), giliran Mahkamah Konstitusi (MK) yang “mencuri” perhatian publik. Melalui Putusan Nomor 23- 26/PUU-VIII/2010, MK mengabulkan seluruh permohonan pengujian terhadap UU No 27/2009 tentang MPR, DPR,DPD, dan DPRD (UU MD3). Putusan MK ini otomatis menggugurkan Pasal 184 ayat (4) UU 27/2009 tentang Mekanisme Pengusulan Hak Menyatakan Pendapat (HMP) DPR.

Me-nurut MK, syarat pengambilan keputusan DPR untuk usul menggunakan HMP tidak boleh melebihi batas persyaratan yang ditentukan Pasal 7B ayat (3) UUD 1945. Pasal ini menetapkan, usul menggunakan HMP ke MK harus memperoleh 2/3 dukungan dari jumlah anggota DPR yang hadir. Pernyataan para tokoh agama harus dilihat sebagai aktualisasi kebebasan atau hak menyatakan pendapat. Sementara keputusan MK tentang HMP DPR itu tak lebih dari koreksi MK atas hambatan DPR menggunakan HMP itu.HMP DPR merupakan hak konstitusional DPR untuk melaksanakan fungsi checks and balances.

Fondasi Klaim

Tidak ada yang menghalangi pemerintah, ketika baik Presiden maupun Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa memuji kinerja pengelolaan ekonomi negara tahun 2010.Presiden melukiskan posisi Indonesia di peringkat ketiga dalam lingkungan anggota G-20,di bawah China dan India.Sedangkan Hatta menggambarkan Indonesia sebagai 18 besar perekonomian dunia dan sudah menjadi raksasa ekonomi. Rakyat menghormati hak pemerintah membuat pernyataan atau klaim.

Sebaliknya,pemerintah pun mestinya menghormati hak rakyat, termasuk tokoh agama, menyatakan pendapat. Pemerintah jelas berhak merespons pernyataan para tokoh agama. Tetapi, respons itu tidak penting,bahkan salah alamat karena para tokoh agama bertindak atas nama umatnya, rakyat Indonesia. Jadi, kalau yakin 100% dengan klaim tentang kinerja ekonomi negara 2010, pemerintah mestinya bertanya langsung kepada rakyat sebab rakyat kebanyakanlah yang merasakan langsung kinerja pemerintah dalam mengelola ekonomi negara.

Bertanyalah, “Siapa yang berbohong? KlaimPemerintahatau penilaian para tokoh agama?” Ketika merespons pernyataan tokoh agama,Menko Polhukam menandaskan klaim pemerintah berdasarkan data statistik. Sepengetahuan saya, tidak ada yang membantah klaim atau statistik pertumbuhan versi pemerintah.Persoalannya adalah klaim dan statistik itu tidak mencerminkan realitas kehidupan sebagian besar rakyat Indonesia. Ekstremnya, statistik pertumbuhan itu bahkan bertolak belakang dengan fakta kehidupan rakyat di akar rumput.

Mengacu pada alokasi volume Raskin yang masih tinggi, pemerintah secara tidak langsung sebenarnya sudah dan terus mengakui bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu tidak bertransmisi pada aspek kesejahteraan rakyat. Inilah yang selalu dipersoalkan para pemerhati dan para tokoh agama itu.Kalau pengelolaan ekonomi negara diibaratkan ujian kelulusan, pemerintahan ini mungkin mendapatkan nilai tinggi.

Namun, jika pengelolaan ekonomi negara dimaknai sebagai pengabdian aparatur negara membangun harkat dan martabat manusia Indonesia seutuhnya, nilai untuk pemerintahan ini jeblok. Pemerintah selalu menutupi kegagalannya dengan argumentasi yang itu-itu juga atau banyak kemajuan telah diraih, tetapi ada juga program yang belum dicapai. Bagi saya, program menyejahterakan rakyat itu bukan hanya belum dicapai, tetapi juga terabaikan.

Mengabaikan program kesejahteraan rakyat itulah titik lemah pemerintahan ini. Mudah-mudahan, para menteri pernah mendengar penilaian berbagai kalangan tentang data warga miskin dan pengangguran. Pernyataan pemerintah bahwa kemiskinan dan pengangguran berhasil diturunkan dinilai sebagai klaim yang manipulatif. Banyak orang bahkan hanya bisa senyum sinis ketika pemerintah mengatakan daya beli rakyat terus menguat.

Membuka Kebuntuan

Sebelumnya dan masih dalam konteks yang sama, saya pun mengecam klaim Hatta Rajasa. Saya menilai Hatta lari dari tanggung jawab dengan meniupkan angin surga dan mengajak rakyat bermimpi. Padahal, akibat lonjakan harga kebutuhan pokok, jutaan anak terancam kekurangan gizi. Saya mengimbau Hatta agar lebih peduli pada persoalan yang dihadapi rakyat saat ini seperti lonjakan harga beras, cabai, dan minyak goreng sebab itulah tugas utama Menko Perekonomian.

Jadi, per esensi,kritik para tokoh agama itu sama dan sebangun dengan kritik para ekonom independen yang menilai buruknya kualitas pertumbuhan ekonomi kita. Seperti para tokoh agama,saya pun telah berulangkali menggunakan hak saya untuk menyatakan pendapat, baik sebagai individu maupun sebagai anggota DPR mewakili partai dan konstituen.Karena itu,saya pun merasa wajib mendorong semua komponen bangsa untuk tak ragu menggunakan hak berpendapat, termasuk mengkritik pemerintah.

Pernyataan para tokoh agama itu mestinya mengilhami dan memotivasi kita semua. Dengan penyederhanaan proses mengusulkan HMP DPR, saya dan kawan-kawan makin termotivasi. Perlu ditegaskan bahwa ketika menggagas dan mengajukan uji materi atas Pasal 184 ayat (4) UU No 27/2009, tak pernah ada agenda pemakzulan presiden di benak kami. Kebuntuan proses hukum skandal Bank Century-lah yang mendorong kami mengambil inisiatif uji materi itu.

Kami tidak berpikir kerdil. Jadi, keputusan MK itu sebaiknya tidak ditafsirkan terlalu jauh. Mengacu pada konstruksi kekuatan politik di DPR, kami tahu bahwa usul penggunaan HMP DPR tetap tidak mudah. Tetapi, keputusan MK itu layak dimaknai sebagai pesan kepada Presiden. Pesan bahwa Presiden tidak bisa lagi menyederhanakan setiap persoalan yang berkaitan langsung dengan ke-pentingan rakyat. Kalau Presiden terus bertindak minimalis dalam merespons persoalan rakyat, anggota DPR tak segansegan mengambil inisiatif mengusulkan HMP.

Akumulasi Kekecewaan

Saya merekam kekecewaan mendalam masyarakat karena institusi DPR terkesan tidak peduli pada penderitaan rakyat akibat lonjakan harga bahan pangan. Masyarakat pun menilai perilaku institusi DPR sama saja dengan pemerintah yang minimalis.Ketua DPR malah sibuk dengan proyek gedung baru. Padahal, rakyat berharap DPR merekam, menghayati, dan membantu rakyat mencari jalan keluar.

Dengan sejumlah hak konstitusional yang melekat padanya,wakilwakil rakyat di Senayan mestinya menghardik pemerintah.DPR bisa saja menggunakan HMP-nya karena pemerintah tidak maksimal melindungi rakyat dari cengkeraman harga bahan pangan yang mahal.Kewajiban pemerintah melindungi rakyat itu titah konstitusi. Dengan begitu, pemerintah layak dikenakan pasal melanggar konstitusi jika membiarkan rakyat menderita akibat lonjakan harga bahan pangan.

Institusi DPR mestinya merasa dipermalukan karena penderitaan rakyat itu justru disuarakan para tokoh agama.Padahal,apa yang dilakukan para tokoh agama itu mestinya dilakoni institusi DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat. Pernyataan tokoh agama dan keputusan MK tentang syarat HMP DPR memperkuat keyakinan saya dan rekan. Kami tak segan mengusulkan HMP jika pemerintah melakukan pembiaran atas masalah yang dihadapi rakyat.

Selain persoalan harga pangan, saya mencatat pemerintah pun melakukan pembiaran dalam kasus ledakan kompor gas. Dalam kasus hukum, pemerintah melakukan pembiaran ketika penegak hukum tidak memproses skandal Bank Century sebagaimana seharusnya. Pemerintah pun tak berniat mengungkap ketidakberesan proses penawaran perdana saham PT Krakatau Steel.

Untuk skandal Bank Century, kasus Gayus Tambunan,dan mafia perpajakan, kami harus bersabar dan memberi kesempatan kepada pemerintah dan penegak hukum. Namun, jika masalahnya berlarutlarut karena pembiaran,tak ada pilihan lain bagi kami kecuali menggagas usulan menggunakan Hak Menyatakan Pendapat DPR.(*)

Bambang Soesatyo
Anggota DPR Fraksi Partai Golkar,
Bendahara Umum KAHMI       

Investment Grade Satu Tingkat Lagi

Monday, 17 January 2011
PERINGKAT surat utang Indonesia kini naik satu tingkat dari Ba2 menjadi Ba1 berdasarkan versi lembaga pemeringkat Moodys Investor Services.

Kenaikan peringkat tersebut telah menempatkan posisi Indonesia satu peringkat di bawah investment grade(peringkat yang layak untuk investasi). Lembaga pemeringkat internasional itu menilai positif Indonesia karena ada perbaikan surat utang pemerintah, penanaman modal asing (PMA) makin prospektif,dan cadangan devisa yang terus membesar.

Kenaikan peringkat tersebut semakin menambah kepercayaan diri pemerintah untuk menarik investor asing sebanyak-banyaknya ke Indonesia. Bagi pemerintah,seperti yang terlontar dari bibir Direktur Jenderal (Dirjen) Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan,Rahmat Waluyanto,kenaikan itu sebuah kejutan yang sangat spesial sebab merupakan pengakuan bahwa perekonomian Indonesia sangat berprospek.

“Ini akan menambah confidence investor khususnya asing untuk bertahan di Indonesia,”tegasnya. Selain itu, kenaikan peringkat tersebut juga berdampak pada pengelolaan utang negara, di mana biaya utang bakal makin rendah bila dikaitkan dengan perbaikan profil biaya dan risiko. “Biaya utang dan risiko refinancing rendah karena minat beli investor pada surat berharga negara (SBN) dalam jangka panjang,” ungkap Rahmat.

Kita berharap, kondisi tersebut bukan berarti memberi peluang pemerintah untuk menambah utang lagi sebab jumlah utang yang ada sudah repot untuk membayarnya. Sayangnya, berita positif tentang kenaikan peringkat surat utang Indonesia itu tidak berdampak pada perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI).Posisi indeks harga saham gabungan (IHSG) yang sejak pembukaan perdagangan pagi sudah terkikis dan terus berada di zona negatif hingga penutupan perdagangan kemarin.Indeks melemah sebesar 33,413 poin (0,94%) ke level 3.535,731.

Pelemahan indeks didampingi nilai tukar rupiah yang berada di posisi Rp9.070 per USD dibandingkan level Rp9.065 per USD pada penutupan sehari sebelumnya. Meski mendapat tambahan “nyawa” baru yang bisa merangsang investor asing untuk menanamkan modal di Indonesia,pemerintah jangan sampai lengah dengan kenaikan peringkat tersebut.Perekonomian global, sebagaimana diprediksi Bank Dunia,bisa saja balik ke masa krisis seperti yang terjadi pada 2008.

Gejala tersebut mulai merambat melalui kenaikan harga pangan yang cenderung tidak terkendali dan harga minyak mentah dunia yang kini mendekat ke level psikologis USD100 per barel. Bank Dunia sudah menyalakan lampu kuning bahwa pertumbuhan ekonomi yang melambat dan harga komoditas yang melambung tinggi sudah harus diantisipasi secepatnya. Bank Dunia memproyeksikan perekonomian global turun 0,6% menjadi 3,3% tahun ini dari 3,9% pada tahun lalu.

Dan,perekonomian negara-negara berkembang mengempis dari 7% tahun lalu menjadi 6% tahun ini. Sementara itu, pemerintah begitu optimistis pertumbuhan perekonomian nasional akan mengalahkan realisasi pertumbuhan tahun lalu.Tahun ini pertumbuhan ekonomi dipatok sekitar 6,4%, namun angka tersebut dinilai Wakil Presiden (Wapres) Boediono masih rendah dibanding potensi yang ada.

Perekonomian Indonesia bisa tumbuh hingga 8% tahun ini dengan catatan seluruh pemangku kebijakan negara bekerja dengan maksimal. Apa yang diungkapkan Wapres Boediono tersebut merupakan pernyataan tulus dari pemerintah sendiri bahwa segenap komponen bangsa ini belum bersatu padu dalam meraih kebangkitan perekonomian nasional.Tengok saja,para aktor politik sibuk dengan segala “pertengkarannya”yang cenderung mengabaikan kondisi riil yang dihadapi bangsa ini.

Fenomena pertengkaran politik yang cenderung tidak sehat di kalangan elite bangsa ini juga disoroti Moodys Investor Services sebagai catatan pemberian kenaikan peringkat Indonesia.Moodys mengingatkan satu hal yang bisa menghambat perekonomian Indonesia adalah risiko politik dalam sistem politik Indonesia.Karena itu,kita berharap para politikus di negeri ini tidak mengabaikan peringatan dari lembaga survei internasional itu. Jangan sampai peringkat investment grade yang sudah lama diidamidamkan dan kini sudah di depan mata menjauh lagi.(*) 

Pertemuan Tokoh Lintas Agama dengan SBY di Istana Dinilai Mubazir

Jakarta
Pertemuan tokoh lintas agama dengan Presiden SBY dinilai sia-sia. Sebagai silaturahim memang dianggap baik, tapi hasil yang dicapai, yakni tuntutan akan perbaikan bangsa masih jauh dari pencapaian yang diinginkan.

"Kalau niatnya menyelesaikan masalah bangsa yang berat-berat, masih jauh panggang dari apinya. Karena Indonesia sudah terlanjur menjadi 'tricky country' yang penuh trik-trik, siasat, pengalihan masalah dan rekayasa," kata Presiden World Conference Religion for Peace (WCRP) Hasyim Muzadi dalam siaran pers yang diterima detikcom, Selasa (18/1/2011).

Menurut Hasyim, pertemuan yang digelar pada Senin (17/1) malam itu, hanya sebagai spektrum dari politik pencitraan. Jadi, bukan masalah pertemuan di istana itu terbuka atau tertutup.

"Terbuka pun bukan jaminan. Misalnya, masalah Gayus yang sesungguhnya masalah pajak bergeser ke masalah paspor," terangnya.

Dia menambahkan, rakyat tidak mungkin mampu berbuat yang berarti karena dimiskinkan oleh sisten kapitalisme liberal yang absolut sehingga ada ketergantungan absolut pada kekuasaan dan pemegang uang.

"Demokrasi dalam kondisi ini akan menjadi industri. Kita lihat saja apakah yang hadir di istana 'pemuka agama' atau 'pengurus agama'. Pemuka agama tidak lagi perlu kemasyhuran karena tujuannya 'hanya keluhuran' sedangkan kapasitas pengurus perkumpulan agama, isi ranselnya masih aneka rasa," tutupnya.