Cibiran, cemoohan, dan penolakan adalah menu seharihari dr Sofyan Tan ketika memulai langkah membaurkan anak bangsa tanpa membedakan suku, agama, ras, dan antargolongan di Medan, Sumatera Utara, 25 tahun silam. Meski ditentang, dia tak surut langkah. Baginya, pluralisme tidak bisa ditawar.
Perjuangan panjang itu kini berbuah.Etnik Tionghoa diterima masyarakat dengan terbuka.Salah satu indikasinya,ia yang beretnik Tionghoa dapat dukungan luas ketika maju pada Pilkada Medan beberapa waktu lalu.
Meski gagal,setidaknya dia menganggap telah menggapai kemenangan, yakni politik lokal tidak lagi memandang pribumi dan nonpribumi. Usaha kerasnya itu juga diganjar penghargaan Fellow Ashoka Fellowship untuk Hubungan Antaretnik dan Pendidikan dari Washington, Amerika Serikat.Berikut ini petikan wawancara dengan Sofyan Tan:
Sampai sekarang Anda aktif berkampanye soal pembauran etnik, apa yang mendasarinya?
Ini semua berkaitan dengan pengalaman masa kecil saya saat peristiwa 1966 (G 30 S PKI).Ketika itu warga Tionghoa selalu diidentikkan dengan PKI.Sama seperti kerusuhan sosial 1998 lalu.Warga Tionghoa menjadi sasaran kekerasan fisik dan nonfisik hingga menjadi korban pembunuhan.
Banyak rumah orang Tionghoa dibakar.Namun anehnya, papa saya yang seorang penjahit dan hidup miskin luput dari semua itu. Bahkan sekelompok pemuda ikut menjaganya.Itu yang membekas di hati saya hingga kini.
Momentum itu yang membuat Anda bergerak?
Saya bertanya-tanya,mengapa di satu sisi etnik Tionghoa bisa dijadikan sasaran amuk massa,tetapi di sisi lain keluarga saya selamat.Saya sendiri juga risih mendengar ada orang teriak,“Cina woi!”Kenapa rupanya? Padahal saya lahir dan besar di Indonesia.Saya tidak bisa memilih ketika dilahirkan sebagai Tionghoa.
Sampai kapan ketidaknyamanan tersebut dirasakan?
Puncaknya ketika saya kuliah di kedokteran.Mulai dari tidak diterima di Universitas Sumatera Utara (USU) hingga dipersulit untuk lulus kuliah di Fakultas Kedokteran Methodist (Universitas Methodist Indonesia).Itu semua karena saya bermata sipit.Walaupun nilai saya selalu bagus,harus lima kali ikut ujian dokter negara baru lulus.
Apa Anda dendam atau sakit hati atas semua itu?
Kemiskinan,diskriminasi,dan traumatik tidak harus membuat saya benci dan dendam.Karena papa saya mengajarkan untuk selalu berbuat baik kepada setiap orang dan menjaga silaturahmi agar bisa diterima masyarakat.Itu yang membuat kami aman-aman saja.
Lalu apa yang dilakukan setelah itu?
Saya pilih bangun Sekolah Sultan Iskandar Muda pada 1987 lalu. Menurut saya orang bisa melakukan tindakan diskriminatif karena dihasut dan orang yang berpendidikan rendah sangat mudah dihasut.
Saya bangun sekolah untuk semua etnik dan agama,khususnya untuk orang miskin.Sekolah tersebut juga harus berkualitas agar yang kaya juga mau mendaftar membaur dengan yang miskin.
Apa itu cukup,bukankah mengubah pola pikir masyarakat yang sudah diskriminatif tidak segampang itu?
Tentu saja tidak.Butuh waktu lama untuk mengubahnya. Pertama saya bangun masjid di sekolah.Karena saya melihat beberapa siswa sembahyang tidak di tempat yang baik. Pembangunannya saya libatkan sumbangan masyarakat juga.
Lalu saya dirikan gereja dan menyusul vihara. Jadi semua agama bisa berdampingan, rukun,dan damai di sana.Sekolah menjadi miniatur kemajemukan masyarakat Sumatera Utara.
Sepertinya Anda mendapatkan simpati masyarakat atas ide tersebut. Apa benar begitu?
Banyak yang bantu,tapi yang beranggapan miring dan curiga sama saya lebih banyak lagi,baik dari luar maupun dari Tionghoa sendiri.Saya dicibir karena sekolah tinggi-tinggi jadi dokter hanya untuk buat sekolah urus orang miskin.
Saya dituduh berkhianat,disangka pembauran itu untuk pindah agama,kawin campur, bahkan dianggap ingin transfer ilmu dagang ke orang di luar etnik Tionghoa.Ketika saya bangun masjid dibilang masuk Islam,lalu buat gereja dianggap pindah agama,lalu ketika vihara saya bangun terakhir dianggap sudah tobat.Intinya pembauran itu penghancuran.
Anda berusaha meyakinkan mereka?
Saya biarkan saja.Biar waktu yang menjawab bahwa semua mimpi pembauran saya pada saatnya akan terwujud.
Kapan Anda melihat usaha itu berhasil?
Ketika peristiwa Reformasi 1998 lalu.Saat itu etnik Tionghoa di Medan Sunggal aman dari kerusuhan massa. Masyarakat bersama-sama menghadang aksi kerusuhan massa masuk ke Sunggal karena anak-anak mereka sudah membaur bersama di Sekolah Sultan Iskandar Muda.
Apa sebenarnya yang dilakukan hingga bisa seperti itu?
Saya punya program anak asuh silang yang terbukti bisa menyadarkan setiap orang untuk tidak lagi bertindak diskriminatif. Bukan hanya anak-anak,tapi juga kesadaran orang dewasa yang terbangun dalam program tersebut.
Seperti apa programnya ?
Cukup sederhana,yaitu dengan mencarikan orang tua asuh yang berbeda etnik dan agama dengan anak yang akan diasuhnya.Orang Jawa memiliki anak asuh seorang Tionghoa, sebaliknya orang Tionghoa memiliki anak asuh bersuku Batak.
Semua itu dilakukan dengan dua kepentingan,yaitu membantu anak yang miskin agar bisa mendapatkan pendidikan yang baik serta program menghancurkan stereotipe (pandangan negatif) terhadap perbedaan suku,ras,dan agama.
Apa Anda merasa pembauran di Medan cukup berhasil? Bukankah Tionghoa di Medan dianggap bisa membaur karena bisa menguasai bahasa daerah setempat?
Saya justru beranggapan pembauran masyarakat Tionghoa di Medan lebih baik dibandingkan di daerah lain.Kita lihat saat peristiwa 1998,korban pemerkosaan dan pelecehan seksual dari etnik Tionghoa umumnya ada di Semarang dan Jakarta.
Padahal mereka di sana sudah sangat halus berbahasa Jawa dan di Jakarta berbahasa Betawi. Adapun di Medan tidak ada sampai pada pemerkosaan.Artinya Sumatera Utara tetap lebih baik dan menjadi miniatur keragaman di Indonesia.
Apakah penguasaan bahasa setempat menjadi kunci pembauran?
Persoalan menguasai bahasa daerah bukan ukuran keberhasilan pembauran.Karena di Medan tidak ada kultur dominan dari sisi kesukuan. Beda dengan Jawa dan Padang, setiap etnik Tionghoa secara otomatis bisa berbahasa daerah setempat karena itu digunakan sehari-hari.
Kekalahan Anda di Pilkada Medan 2010 lalu apakah itu membuktikan belum semua masyarakat menerima tokoh dari kalangan minoritas sebagai pemimpinnya?
Saya sebenarnya sudah menang di Pilkada Medan 2010 lalu.Amerika Serikat butuh 200 tahun lebih untuk bisa menerima Obama menjadi presiden kulit hitam pertama.Tapi kita baru 66 tahun sudah bisa seorang Tionghoa menjadi pesaing serius dalam Pilkada Medan.
Masuk di putaran kedua dari 10 pasangan kandidat sudah merupakan keberhasilan tersendiri.Sebab sejak awal bukan pasangan yang diunggulkan,bahkan dianggap pasangan yang mustahil dilirik masyarakat.
Jadi Anda cukup puas dengan hasil tersebut?
Kampanye di Pilkada Medan lalu bagian dari uji coba saya apakah seorang Tionghoa bisa diterima masyarakat luas.Ternyata saya menang di kantung-kantung non- Tionghoa.Artinya minoritas sudah bisa diterima masyarakat,terutama yang menengah ke bawah.
Itu yang saya ketahui dari hasil sosialisasi ke beberapa daerah kawasan miskin serta dari kampanye saya yang sangat banyak didatangi massa serta ikut larut dalam keharuan.Makanya saya happy meskipun tidak menang sebagai wali kota.
Sepertinya usaha Anda selama ini sudah on the track sesuai dengan jalur yang dicita-citakan.Apa pesan Anda kepada masyarakat yang masih terkungkung dan sulit untuk membaurkan diri?
Pembauran itu seperti salad bowl yang semuanya bercampur,kentang, sayuran,jagung,dan sebagainya yang diikat oleh mayones.Perpaduannya yang utuh dan sinergis membuat makanan tersebut enak dirasa.Sama seperti gado-gado,meskipun berbedabeda, tapi menjadi kesatuan yang utuh dan memiliki rasa tersendiri. Jadi biarkanlah berbeda tanpa harus membeda-bedakannya dengan diskriminatif. m rinaldi khair
No comments:
Post a Comment