23 December 2010

Konfrontasi Langsung Indonesia-Malaysia


Thursday, 23 December 2010
Kompetisi sepak bola bergengsi di Asia Tenggara minggu ini memasuki babak final. Final dua putaran akan menampilkan Indonesia berhadapan dengan Malaysia, dua negara tetangga yang tidak pernah bebas dari persoalan bilateral.Mereka bahkan pernah berhadapan di muka Mahkamah Internasional karena kasus sengketa wilayah.

Keduanya pernah pula di ambang perang ketika terjadi krisis di wilayah Ambalat. Banyak orang tahu bahwa Malaysia terkenal dengan slogannya “The Truly Asia”,sebuah destination brand yang dikenal secara luas. Brandini berhasil meraih lebih dari 25 penghargaan international creative and marketing effectiveness. Slogan ini tidak berubah sejak pertama kali diluncurkan tahun 1999. Sementara itu Indonesia memopulerkan “Visit Indonesia Year”. Tapi ini lebih merupakan program Kementerian Pariwisata dan bukan slogan, apalagi branding dan bahkan berubah-ubah sesuai dengan pemerintahan yang berkuasa. Persaingan untuk menentukan keadidayaan di Asia Tenggara di bidang olahraga sepak bola akan digelar di Kuala Lumpur (26 Desember) dan Jakarta (29 Desember).

Dua negara tetangga ini maju ke final setelah di semifinal Indonesia mengalahkan Filipina, negara bekas jajahan Spanyol, dan Malaysia, negara bekas jajahan Inggris, mengalahkan juara bertahan Vietnam. Indonesia dan Malaysia akan melakukan “konfrontasi” langsung di lapangan hijau, sebuah episode yang mengingatkan kita pada era konfrontasi kedua negara di tahun 1960-an.

Pertaruhan Reputasi Dengan latar belakang persoalan bilateral antara kedua negara, dalam final nanti Indonesia dan Malaysia akan mempertaruhkan reputasi mereka masing-masing. Indonesia mempertaruhkan predikatnya sebagai negara yang dianggap memiliki pengaruh besar di kawasan Asia Tenggara,sementara Malaysia ingin menunjukkan dirinya sebagai negara yang aman dan nyaman untuk melakukan bisnis. Bukan hanya itu.Indonesia dan Malaysia adalah dua negara anggota ASEAN yang tingkat persoalan tenaga kerja mereka melebihi persoalan tenaga kerja negara-negara anggota ASEAN lainnya. Pemerintah meminta kepada sekitar 2 juta TKI di Malaysia untuk mendukung dan menyaksikan secara langsung pertandingan final tersebut. Permintaan semacam itu kepada TKI di Malaysia memang tidak berlebihan, tetapi mungkin tidak sebanding dengan kurangnya upaya pemerintah Indonesia dalam memberikan perlindungan secara maksimal kepada TKI di Malaysia.

Konfrontasi Kompetisi geopolitik antara Indonesia dan Malaysia termanifestasi antara lain dalam upaya mereka untuk menjadi negara yang memainkan peran sentral dalam memengaruhi,kalau tidak menentukan, arah perkembangan di kawasan Asia Tenggara. Semua orang ingat bahwa di era Soekarno Indonesia memperlihatkan determinasinya untuk mengakhiri dominasi dan pengaruh Barat di Asia dan oleh Soekarno Malaysia, pada waktu itu, dipandang mewakili kepentingan Barat.

Di bawah Mahathir Mohamad,Malaysia juga memperlihatkan determinasinya untuk menjadi macan ekonomi Asia.Bukan hanya itu.Setelah serangan teroris 11 September, Mahathir bahkan memproyeksikan dirinya menjadi juru bicara moderat dari dunia muslim. Retorika anti-Barat sangat menonjol dalam kebijakan Malaysia di bawah Mahathir, sementara Indonesia di bawah Soeharto memperlihatkan “keakraban politik”dengan Barat, khususnya Amerika Serikat.

Konfrontasi memang berakhir, tetapi itu tidak mengakhiri kompetisi antara kedua negara. Kini kompetisi “head to head” bahkan akan berlanjut ke lapangan hijau. Malaysia maju ke final piala AFF dengan ekspektasi yang tinggi, bukan hanya untuk menjadi juara Piala AFF, tetapi status itu juga akan digunakan untuk memperkuat daya saing di bidang-bidang lain, termasuk untuk mengekalkan slogan “Truly Asia”. Indonesia,yang sejak awal konsisten dengan pola menyerang dalam lima pertandingan terdahulu, maju ke final dengan ekspektasi yang sama dengan Malaysia,menjadi juara.Meskipun mungkin motivasi para pemain Indonesia untuk menjadi juara Piala AFF tahun ini tidak didasari dan digerakkan oleh keunggulan Indonesia dari Malaysia (antara lain dalam hal lokasi strategisnya, luas wilayah, dan jumlah penduduk), modalitas seperti itu biasanya secara tidak disadari menjadi semacam pendorong dalam setiap event yang mempertaruhkan nama bangsa, termasuk (tetapi tidak terbatas pada) sepak bola.


Perbatasan Salah satu elemen penting yang muncul dalam konteks persaingan adalah perbatasan (border). Kick off pertandingan sepak bola selalu dimulai dari titik tengah lapangan di mana di antara titik itu membentang garis putih sebagai tanda “perbatasan” wilayah berdaulat masing-masing. Di dalam wilayah berdaulat inilah Indonesia dan Malaysia masing-masing berusaha mempertahankan kedaulatannya. Logika yang melekat pada perbatasan adalah sifat inklusif dan eksklusif dari persoalan identitas, persamaandanperbedaan.Perbatasan dapat dibentuk antara lain oleh faktor sejarah dan identitas.Dalam konteks perbatasan, John Agnew (1994) memperkenalkan konsepnya, modern geopolitical imaginary,yaitu perbatasan dipandang sebagai tanda-tanda teritorialdaribatasan- batasan yurisdiksi dan otoritas politik yang berdaulat.

Konsep Agnew mengenai perbatasan ini bisa menjelaskan bagaimana Tim Nasional Indonesia dan Malaysia dalam final nanti berusaha sekuat tenaga mempertahankan wilayahnya dengan melakukan tindakan-tindakan bertahan atau menyerang atas nama kedaulatan tim masing-masing.Ketika mereka bermain,para pemain dan ofisial tim masing-masing secara tidak disadari sebenarnya sedang melakukan geopolitical imaginary dengan melakukan tindakan atas nama kedaulatan wilayah mereka masing-masing. Konfrontasi sebenarnya dimulai ketika esensi dari wilayah berdaulat diusik atau diganggu oleh tiap pihak yang berkonfrontasi.Inilah sebenarnya yang akan disaksikan oleh publik dalam final Piala AFF.

Suasana bersahabat dan kooperatif antara Indonesia dan Malaysia akan berakhir dengan dimulainya pertandingan yang dalam prosesnya akan memunculkan ketegangan yang sulit dihindari akibat aksi yang saling balas menyerang. Kondisi demikian dimungkinkan karena sifat anarkistis dari lingkungan di mana Indonesia dan Malaysia saling berinteraksi.

Hal itu menggarisbawahi esensi dari pemikiran realis klasik, yaitu bahwa esensi dari politik internasional adalah persaingan, baik itu dalam bidang politik, militer maupun ekonomi. Dalam konteks ini pula final Piala AFF 2010 di satu sisi dilihat sebagai struggle for power antara Indonesia dan Malaysia untuk menjadi yang terkuat dalam bidang sepak bola. Di sisi lain, Indonesia dan Malaysia sebenarnya juga terlibat dalam proses diplomasi sepak bola (soccer diplomacy) yang dapat menjembatani perbedaan-perbedaan yang selama ini ada di antara mereka dan hal ini dapat membawa kita pada stabilisasi geopolitik.Di atas semuanya itu, sepak bola pada dasarnya adalah mengenai kompetisi internasional.(*) 

No comments:

Post a Comment