12 December 2010

Cuaca Bukan Pemicu Migrain

Friday, 10 December 2010

TERJADINYA serangan migrain biasanya diidentikkan dengan perubahan cuaca yang dramatis di luar rumah.Namun,penelitian ilmiah terbaru tidak menemukan bukti yang kuat soal hubungan sebab-akibat antara keduanya.

Banyak orang sudah lama percaya jika perubahan cuaca dapat memicu sejumlah gejala migrain. Namun, sebuah penelitian terbaru tidak menemukan bukti yang kuat bahwa hal itu benar adanya,“Cuaca sebagai pemicu migrain itu sudah berlebihan,”kata Dr Christian Wober, peneliti dari Medical University of Vienna di Wina,Austria, seperti dikutip Reuters Health. Temuan ini dilaporkan dalam jurnal medis Cephalalgia menjawab pertentangan soal pemikiran bahwa faktor cuaca,termasuk perubahan suhu, sinar matahari, dan tekanan atmosfer, bisa pemicu migrain.


Sebelumnya, sebuah studi yang diterbitkan tahun 2009 di jurnal Neurologymenemukan korelasi antara perubahan cuaca dan banyaknya pasien unit gawat darurat (UGD) yang menderita migrain dan sakit kepala lainnya di sebuah rumah sakit di Boston. Untuk setiap kenaikan suhu sekitar sembilan derajat Fahrenheit, kemungkinan kunjungan penderita migrain dan bukan migrain meningkat sebesar 7,5%. Demikian pula risiko sakit kepala bukan migrain meningkat selama dua sampai tiga hari setelah penurunan tekanan atmosfer.Tekanan rendah umumnya berarti langit mendung dan terjadi badai, sementara tekanan tinggi berarti cuaca cerah.Namun, sejumlah penelitian lain—termasuk yang sekarang— telah gagal untuk menemukan hubungan yang jelas antara kondisi cuaca dan migrain.

Untuk studi terbaru ini, para peneliti dari Austria mengajak 238 orang dewasa penderita migrain untuk membuat semacam “buku harian sakit kepala” selama tiga bulan. Setiap hari peserta studi mencatat apakah mereka sakit kepala. Dan, jika iya, tuliskan secara rinci gejala apa saja yang mereka alami. Mereka juga menilai paparan berbagai faktor potensial yang berhubungan dengan migrain, termasuk tujuh pertanyaan soal cuaca. Para peneliti juga menggunakan data dari badan meteorologi dan geofisika di Wina untuk mengukur secara objektif hubungan antara laporan gejala migrain yang ditulis peserta dan perubahan cuaca harian selama tiga bulan studi tersebut. Secara sekilas, peserta studi tampaknya memiliki risiko yang agak lebih tinggi daripada serangan migrain pada hari-hari dengan kecepatan angin ratarata yang lebih rendah. Ada juga hubungan antara perubahan waktu datangnya sinar matahari sehari-hari dan risiko migrain.

Namun, secara statistik, hubungan tersebut bisa jadi hanya karena kebetulan semata. Selain itu, para peneliti menemukan bahwa ada banyak perbedaan antara persepsi peserta tentang cuaca pada hari tertentu dengan data yang dikeluarkan badan meteorologi dan geofisika. P e n e - muan ini bersama dengan beberapa studi sebelumnya menunjukkan bahwa faktor cuaca u k u r a n n y a “sangat terbatas” dalam memicu migrain. Seseorang menjadi lebih mungkin untuk mengingat suatu hari itu “cuaca buruk” pada saat hari-hari ketika mereka menderita migrain, atau berkurang ingatannya saat tidak mendapat migrain. Berarti tidak ada hubungan sama sekali antara cuaca dan migrain? Tidak juga.“Kami tidak dapat secara pasti menyimpulkan kalau cuaca tidak berdampak sama sekali pada migrain,” kata Wober yang mengakui hasil yang beragam pada studi sebelumnya.

Dr Kenneth J Mukamal, peneliti utama pada studi 2009 yang mengaitkan variabel cuaca dengan kunjungan pasien ke UGD karena migrain mengatakan, studi dulu dan yang sekarang berbeda signifikan dalam metodologi penelitiannya. Mukamal mengatakan,mungkin ada banyak alasan mengapa beberapa studi mencapai kesimpulan yang berbeda dan tidak mungkin untuk menentukan mana dari mereka yang menunjukkan penjelasan yang benar. Misalnya, karena sebagian besar serangan migrain terjadi di luar rumah sakit.

Sementara, migrain yang terjadi di unit gawat darurat (UGD) tidak bisa mewakili serangan migrain rata-rata yang diderita seseorang. Bagi penderita migrain yang percaya bahwa cuaca merupakan pemicu bagi mereka, Wober menyarankan hal sebagai berikut. Karena tidak ada seseorang pun yang bisa mengendalikan cuaca, maka Anda diminta mencoba untuk mengidentifikasi sendiri apa pemicu yang mungkin menyebabkan migrain tersebut. Penelitian telah menyebutkan sejumlah faktor yang dapat memicu sakit kepala pada beberapa penderita migrain, termasuk stres, melewatkan makan, terlalu banyak atau terlalu sedikit tidur dan rangsangan sensorik seperti lampu terang atau bau-bauan tertentu.

Bagi wanita, migrain sering terkait dengan p e r i o d e menstruasi. Secara umum,Wober menekankan pentingnya bagi penderita migrain untuk sadar akan kebiasaan gaya hidup, misalnya jangan telat makan, jadwal tidur yang teratur, dan olahraga teratur.Selain itu memastikan agar minum cukup cairan untuk menghindari dehidrasi. Dia juga mencatat bahwa penderita migrain harus sadar bahwa serangan migrain dapat timbul tanpa pemicu yang jelas. Orang yang sering menderita migrain atau dalam kondisi yang sudah parah sebaiknya memikirkan untuk segera menjalankan pengobatan preventif untuk membantu mengurangi sakit kepala. (rendra hanggara)

No comments:

Post a Comment