JAKARTA– Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan anak hasil hubungan di luar pernikahan tetap memiliki hubungan perdata dengan ayah biologisnya.
Majelis hakim konstitusi berpendapat tidak adil jika menetapkan anak dari luar pernikahan hanya memiliki hubungan dengan ibunya dan membebaskan laki-laki dari tanggung jawab sebagai bapak. Apalagi perkembangan teknologi dapat membuktikan bahwa seorang merupakan anak dari laki-laki tertentu. ”Hubungan anak-bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah.
Terlepas soal prosedur/ administrasi perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapatkan perlindungan hukum,”ujar hakim konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi saat membacakan putusan uji materi UU No 1/1974 tentang Perkawinan di Gedung MK kemarin. Selama ini, UU No 1/1974 tersebut, terutama Pasal 43 ayat (1), menyatakan anak di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu.
Karena itu Aisyah Mochtar alias Machica Mochtar menggugat UU tersebut. Pasal yang digugat adalah Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1). Artis pelantun lagu-lagu dangdut ini merasa hak konstitusionalnya sudah dirugikan karena tidak bisa mendapatkan pengesahan status hukum bagi anaknya, yaitu Muhammad Iqbal,16.Menurut Machica, anak tersebut merupakan hasil hubungan di luar nikah.
Setelah putusan itu, Pasal 43 ayat (1) menurut MK harus dibaca, ”Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.”
Setelah membacakan putusan, Ketua MK Mahfud MD menegaskan, anak-anak yang lahir di luar perkawinan resmi baik kawin siri, perselingkuhan, samen leven(hidup bersama tanpa pernikahan) tetap mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya. Sebab hingga saat ini, kriteria tersebut tidak diakui kecuali menyatakan isbat. ”Begitu juga yang melakukan hubungan haram atau perzinaan tetap harus bertanggung jawab terhadap anak yang lahir.
Ini juga sesuai UU No 12/2006 tentang Kewarganegaraan yang menyangkut hak asasi manusia (HAM),” ujarnya. Menurut Mahfud, selain kasus Machica, banyak kasus serupa di Indonesia.Tidak sedikit kiai-kiai dari pesantrenpesantren di Jawa Timur menikah tanpa akta nikah. Mereka juga meminta agar UU Perkawinan dibatalkan. ”Karena banyak anak mau sekolah ditanya siapa bapaknya.Dalam akta kelahirannya itu perlu disebut siapa bapaknya,” jelas Mahfud.
Hakim Maria Farida Indrati mempunyai alasan yang berbeda dengan para hakim lain. Menurut dia, masih terdapat banyak perkawinan yang hanya berdasarkan pada hukum agama atau kepercayaan tanpa melakukan pencatatan sebagai bentuk jaminan kepastian hukum. Kenyataan ini dalam praktiknya dapat merugikan wanita sebagai istri dan anakanak yang lahir dari perkawinan tersebut.
Perkawinan tanpa pencatatan membuat negara tidak dapat memberikan perlindungan mengenai status perkawinan, harta gono-gini,waris, dan hak-hak lain yang timbul dari sebuah perkawinan. Karena untuk membuktikan adanya hak wanita (istri) harus dibuktikan terlebih dahulu adanya perkawinan antara wanita (istri) dengan suaminya. Namun pasal yang diuji menutup kemungkinan bagi anak untuk memiliki hubungan keperdataan dengan bapak kandungnya.
Padahal, pemenuhan hak-hak anak yang terlahir dari suatu perkawinan tetap menjadi kewajiban kedua orang tua kandung atau kedua orang tua biologisnya. ”(Tanggung jawab orang tua biologis) terlepas dari sah atau tidaknya perkawinan menurut hukum negara,”ujarnya. Kementerian Agama (Kemenag) akan menjalankan putusan MA dengan terlebih dahulu merevisi UU No 1/1974 tentang Perkawinan.
Wakil Menteri Agama (Wamenag) Nasaruddin Umar mengatakan, pihaknya patuh dan tunduk terhadap putusan MK sehingga secara otomatis hasil putusan tersebut nantinya akan diikuti dengan revisi UU Perkawinan karena harus mengubah pasal yang menyebutkan anak yang terlahir di luar pernikahan itu hanya anak ibu.
”Ya kalau memang hasil putusannya seperti itu, maka dengan sendirinya UU Perkawinan harus direvisi dan disosialisasikan kembali ke masyarakat,”ungkap Nasaruddin di Jakarta kemarin. Menurut dia, pasal tentang status anak di luar hubungan pernikahan yang dimuat dalam UU Perkawinan mengacu pada hukum fikih sehingga ayah biologis dianggap tidak memiliki hubungan dengan anak hasil hubungan gelapnya.
Oleh sebab itu,jika dilihat dari perspektif hukum Islam,putusan MK bertentangan dengan fikih, tapi belum tentu dapat dikatakan bertentangan dengan Alquran. Sebab pemahaman dalam fikih sendiri tidak selalu identik dengan Alquran dan hadis. Namun, Wamenag tidak mau berkomentar lebih jauh mengenai hasil putusan MK, terlebih jika putusan tersebut dikaitkan dengan hukum yang berlaku dalam Islam.
Sebab dia belum mendapatkan naskah putusannya sehingga belum dapat memahami seutuhnya hasil putusan MK tersebut. ”Saya belum bisa berkomentar banyak karena hasil uji materi UU Perkawinan baru diputuskan tadi pagi (kemarin). Nanti saya akan memberi penjelasan lebih lanjut jika sudah mendapatkan dan memahami hasil putusan itu,”jelasnya. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Umar Shihab menyambut baik putusan MK.
Putusan tersebut kata dia nantinya dapat dijadikan dasar hukum dalam memutus sengketa anak. ”Anak yang lahir di luar nikah itu ada dua kemungkinan, anak diakui ayahnya atau tidak. Jika diakui,maka itu tidak menjadi masalah. Sebaliknya, jika anak tidak diakui oleh ayahnya, maka nantinya akan dibuktikan di pengadilan,” kata Umar. Menurut dia, dengan lahirnya putusan tersebut,pembuktian dalam menentukan kebenaran ayah biologis dapat dilakukan dengan melihat hasil tesdeoxyribonucleic acid (DNA), saksi, dan bukti-bukti lainnya sesuai dengan putusan MK.
”Kalau tes DNA menunjukkan orang itu ayahnya, maka dia harus bertanggung jawab atas nafkah anaknya,”jelasnya. Sekretaris Jenderal (Sekjen) MUI Ichwan Sam berpendapat, putusan MK sangat baik untuk melindungi kaum wanita agar tidak menjadi korban lelaki.Namun,proses pembuktiannya harus dilakukan dengan benar.”Saya kira putusan itu baik dan bermanfaat untuk melindungi perempuan sepanjang pembuktiannya dilakukan dengan benar,” kata Ichwan.
Dia menambahkan, pembuktian bisa dengan cara tes DNA oleh dokter yang ditunjuk pengadilan.Selain itu,putusan MK juga harus dibarengi dengan perbaikan sistem peradilan. Sebab proses pembuktiannya rentan dimanipulasi sehingga dapat menimbulkan fitnah. ”Jika proses peradilan tidak dijalankan dengan baik dan benar, nantinya bisa menimbulkan fitnah karena telah menuduh orang dengan cara memanipulasi tes DNA atau bukti-bukti lain,”imbuhnya.
Sosiolog Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Bagong Suyanto melihat keputusan MK ini dari perspektif hak anak.Pemberian akta kelahiran akan memberikan kepastian hukum kepada anak tersebut. Karena pada prinsipnya, yang berlaku di beberapa negara pemenuhan hak anak itu adalah best interest of the child. ”Policy yang menyangkut tentang hak anak memang harus mengacu seperti itu,” kata Bagong. ● mnlatief/andi setiawan/masdarul kh
No comments:
Post a Comment