Ia juga tidak bisa menolak, terlahir tidak cantik.Tidak juga bisa mengelak,ketika suatu hari di masa remajanya,ia harus diserempet sebuah bis. Menyebabkan kakinya cacat permanen.
Masitah bersyukur, meski keadaannya seperti itu, masih ada lelaki sudi menikahinya. Meski lelaki itu hanya Rojak. Lelaki tidak tamat SD dan kerjanya mocok-mocok.Tidak jelas antara pengangguran atau pekerja. Lebih bersyukur lagi, setelah setahun menikah, mereka dikaruniai seorang anak lakilaki. Rojak juga menarik nafas lega. Anak itu lancar sekali keluar dari perut istrinya. Pekerjaan mocok-mocok, tentu saja tidak cukup untuk menghidupi dua nyawa. Lalu ditambah lagi dengan sebuah mulut kecil, membuat hidup mereka yang selalu terjepit kian penyet. Otak Rojak yang tidak tamat SD susah sekali diajak berpikir.
Hidup terasa semakin memberatkan, setelah dua tahun keberadaan si kecil, ada bayi lain di dalam perut Masitah.Setiap hari semakin tumbuh dan berkembang. Lalu tiba waktunya si jabang bayi lahir.Tidak ada uang persiapan. Sialnya, bayi yang satu ini juga benar-benar tidak kasihan kepada orang tuanya. Ia tidak mau keluar begitu saja. Dukun beranak angkat tangan setelah seharian mencoba membantu persalinan. Ia usulkan membawa Masitah ke rumah sakit. Rojak kebingungan. Itu jelas bukan pilihannya. Tapi ia tidak tega melihat Masitah meringis kesakitan. Atas usul tetangga, Rojak mendatangi rumah salah satu tempat Masitah menerima cucian baju. Ketika memasuki rumah itu, mulut Rojak sampai menganga lebar.
Belum pernah ia melihat rumah sebesar dan semewah itu. Sebelum tuan rumah datang, hati Rojak mengembang. Ada harapan muncul di sana. Melihat majikan Masitah sekaya ini, pasti mereka mau memberi utang biaya persalinan istrinya. Majikan Masitah seorang lelaki sekitar empat puluh tahun.Wajahnya dingin sekali. Ia tidak berekspresi ketika Rojak memperkenalkan diri dan mengutarakan maksud kedatangannya. “Dengan apa kau mengembalikan uang lima juta itu?” kemudian dia bertanya. “Akan saya kembalikan.Secepatnya.” Lelaki itu tertawa keras, sampai wajah putihnya berubah merah. “Berapa pun bunganya, akan saya bayar.”
“Untuk orang seperti kalian, tidak mudah mendapatkan uang lima juta rupiah.Saya tahu itu.” “Akan saya cicil.” “Apa pekerjaanmu?” “Pekerjaan saya tidak menentu, Pak.Tapi Bapak jangan takut,akan saya bayar secepatnya. Nyawa saya jaminannya.” Lelaki itu semakin terbahak,“ Apa nyawamu berharga?” Rojak mendegut ludah, kesepuluh jemarinya saling meremas. “Saya punya penawaran,” lanjut lelaki itu kemudian. Rojak menatap dengan kening mengerut. Lalu lelaki itu menjelaskan maksudnya. Rojak hanya diminta mengan-tarkan sebuah bungkusan ke sebuah alamat,masih dalam kota.
“Hanya mengantarkan bungkusan?” Rojak tidak percaya. Lalu Rojak mengangguk cepat-cepat. “Jika barang ini sudah kau antar ke alamatnya, segera datang kemari. Uang lima juta akan kau dapatkan. Sekarang, saya berikan sejuta sebagai uang muka.” Rojak menerima uang itu dengan suka cita, langkahnya lebar-lebar meninggalkan rumah majikan Masitah. Ia ingin segera menyelesaikan pekerjaan gampang ini. Lalu pulang ke rumah dan membawa Masitah ke rumah sakit. Di tengah perjalanan, becak yang ditumpangi Rojak dihentikan beberapa orang berjaket kulit hitam. “Anda kami tangkap! Kami dari kepolisian.”
“Saya tidak bersalah, Pak. Tidak melakukan apa-apa,” sahut Rojak gugup. Biar miskin, ia tidak pernah mencuri dan berurusan dengan polisi. “Barang bukti ada bersama Anda.” “Barang bukti apa,Pak?” “Ini,” Polisi itu menunjuk kardus yang dibawa Rojak tadi. “Itu bukan punya saya.Saya hanya diminta mengantarkan. Demi Allah,Pak!” “Anda bisa jelaskan di kantor.” Pria tidak tamat SD itu histeris di dalam mobil. Bukan saja karena ia dibawa ke kantor polisi, terlebih ia mengingat keadaan Masitah di rumah. Ia takut Masitah dan bayinya tidak sanggup bertahan. Di kantor polisi,Rojak tetap tidak mengaku sebagai pemilik bungkusan itu. Meski beberapa kali yang bertanya itu melepaskan bogem mentah ke wajah dan tubuhnya.
Setelah tubuhnya babak belur,mereka bertanya lagi, tetap saja Rojak tidak mengaku dan bercerita mengapa dia sampai membawa bungkusan itu. Orang-orang itu mengangguk. “Ini pemiliknya?” satu jam kemudian, polisi membawa seorang lelaki tua ke hadapannya. Rojak menggeleng. “Beliau ini pemilik rumah yang Anda maksud.” “Mungkin anaknya.” “Saya tidak punya anak laki-laki,” sahut lelaki tua itu tegas. “Tapi laki-laki itu berada di rumah Bapak.” “Jelas Anda berbohong, tidak ada nama penerima ini di alamat yang tercantum,” kata polisi. “Sumpah demi Allah, Pak! Saya jujur. Tidak selamat keluarga saya jika saya bohong,” kata Rojak memelas dan gemetaran.
Polisi itu mengibas tangan dan memerintahkan anak buahnya untuk membawa Rojak ke dalam sel. Rojak dimasukkan ke sebuah sel,bergabung dengan empat orang bertampang sangar. Rojak berteriak-teriak, minta dilepas. “Lepaskan saya, Pak. Saya tidak bersalah. Saya harus pulang. Istri saya akan melahirkan. Tolong lepaskan,Pak!” Polisi hilir mudik di depan sel, mengacuhkan teriakan Rojak. Empat orang di dalam sel, mendekati Rojak. Seorang bertubuh paling besar, menarik kerah baju Rojak dari belakang dan memutar tubuhnya, sehingga mereka berhadapan.
Sebuah tinju mendarat di rahang Rojak, membungkam teriakan Rojak.Rojak terkapar. “Kau diam saja di situ. Di sini teriakan tidak berharga. Uang yang mengatur segalanya,” kata laki-laki yang memukul Rojak. Pandangan Rojak berkunang- kunang.Anehnya,wajah istrinya malah semakin jelas di pandangannya.
No comments:
Post a Comment