08 March 2011

Pengadilan Khusus Pilkada, Perlukah?

Tuesday, 01 March 2011
Wacana pembentukan badan peradilan khusus sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada) memiliki kelebihan dan kekurangan. Pemerintah harus mengkaji mana yang paling rasional dan efisien demi sistem pemilihan yang lebih berkualitas.

BARU-baru ini sejumlah pihak kembali mendesak pemerintah agar membuat pengadilan khusus yang menangani sengketa pilkada. Alasannya, jumlah gugatan yang dilayangkan ke Mahkamah Konstitusi (MK) semakin banyak,bahkan hampir mencapai jumlah pelaksanaan pilkada itu sendiri. Pada 2010 telah diselenggarakan 246 pilkada di tingkat provinsi, kabupaten, maupun kota. Pada saat yang sama,MK juga menerima 230 gugatan hasil pilkada. Berdasarkan asalnya, dari 246 daerah yang telah melangsungkan pilkada, 168 di antaranya bersengketa di MK.

Artinya hampir70% daerahbermasalah dengan pilkada.Hanya 78 daerah yang ”bersih” dari sengketa.Munculnya 230 sengketa karena dari 168 daerah ada yang melayangkan gugatan lebih dari satu.Ini baru pilkada kurun 2009–2010. Pada tahun ini hingga 2014 nanti masih akan berlangsung 278 pilkada sehingga potensi sengketa semakin besar. Sejak penyelesaian sengketa pilkada resmi dialihkan dari Mahkamah Agung ke MK pada 2008 melalui revisi terbatas Undang-Undang No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, MK tidak pernah sepi menerima gugatan.

Jika ditotal,sampai Februari 2011 lembaga ini telah menerima 298 gugatan pilkada (lihat grafis). Dari jumlah itu, 278 di antaranya sudah diputuskan dan 20 sisanya masih menumpuk di meja kerja hakim konstitusi. Dari jumlah gugatan yang dikabulkan untuk diuji, 187 gugatan ditolak,54 tidak diterima, empat ditarik kembali dan satu gugur. Jika hal ini berlangsung terus-menerus akan berpengaruh terhadap kualitas pilkada. Selain itu, sistem gugatan pilkada yang sentralistik juga akan menguras energi dan biaya pihakpihak yang beperkara serta hakim konstitusi.

Yang lebih parah, sengketa pilkada dapat berefek negatif bagi pendidikan demokrasi. Peneliti senior Centre for Electoral Reform (Cetro) Refly Harun mengatakan, untuk mengantisipasi banjirnya gugatan ke MK sebaiknya dibentuk pengadilan khusus pemilu.Pengadilan itu nantinya menangani dugaan tindak pidana dalam proses penyelenggaraan pemilu.”Pengadilan ini nantinya disebar di seluruh badan peradilan umum, seperti Pengadilan Negeri,Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung,” ujar Refly beberapa waktu lalu.

Usulan ini senada dengan yang disampaikan pemerintah.Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi menegaskan, pemerintah akan mengkaji sistem pengajuan gugatan pilkada di masing-masing daerah agar ke depannya sengketa pilkada dapat diselesaikan secara lebih efisien. “Dipusatkannya gugatan di Jakarta (MK) itu biayanya tidak kecil.Ambil contoh sengketanya di Papua, berkasnya harus dibawa ke Jakarta berapa itu biayanya?” ungkap Gamawan.

Di sisi lain,DPR masih belum sepakat badan peradilan khusus sengketa pilkada.Anggota Komisi II dari Partai Demokrat Djufri mengatakan, usulan tentang pengadilan khusus pidana pemilu harus dikaji ulang. “Kita harus mempertimbangkan efektivitas dan efisiensinya. Sangat pentingkah atau cukup memaksimalkan kinerja lembaga- lembaga terkait?”katanya (SINDO, 18/1).Djufri mengingatkan,bila pilkada masuk rezim pemilu, penyelesaian sengketanya tetap di MK.

Terlepas dari pro dan kontra di atas, penting kiranya pemerintah memasukkan usulan ini ke dalam agenda pembahasan RUU Pemilu karena pilkada masuk dalam rezim UU Pemilu. Penggodokan itu harus memasukkan berbagai pertimbangan akan seperti apa badan peradilan khusus pilkada yang dimaksud dan seberapa besar urgensi pembentukan badan tersebut.

Perlu atau tidak perlunya membentukpengadilankhususpilkadasebenarnya dilematis. Pembentukan pengadilankhusussengketapilkadadibutuhkan apabila dilihat dari sisi bahwa pilkada yang disengketakan kerap terbentur tahapan proses pilkada itu sendiri.Terlebih bila gugatan tersebut dilayangkan pada masa-masa “krusial”, misalnya sebelum proses pemungutan suara atau penetapan pemenang pilkada. m azhar/litbang SINDO          

No comments:

Post a Comment