Saturday, 05 March 2011
Setelah selama satu tahun diserang penyakit, tubuh Madra’ie semakin lemah. Untuk membalikkan tubuhnya saja, ia perlu bantuan orang lain. Padahal, umurnya baru sekitar 45 tahun. Menurut anggapan tetangganya, penyakit ini merupakan balak.
Semasa mudanya, Madra’ie pernah merebut warisan sepetak lahan orang tuanya yang diberikan kepada Marsinah,adik kandung Madra’ie. Setelah berbulan-bulan sakit tidak sembuh-sembuh,beberapa tetangga menyarankan agar warisan itu dikembalikan pada Marsinah. Namun, Madra’ie menolak saran tersebut.
Para tetangga berkumpul di teras rumah Madra’ie. Asap kemenyan tercium menyeruak memenuhi ruangan tempat Madra’ie terbaring kaku.Angin yang bertiup cukup kencang pada musim penghujan ini menerbangkan aroma kemenyan ke beranda depan, samping, dan belakang, bahkan ke rumah-rumah tetangga.Bau kemenyan inilah yang mengundang orang-orang berdatangan. Sanak famili Madra’ie mengaji di Alquran atau membaca salawat nabi. Di sebelah kanannya terdapat dua orang; Marsinah, adik kandung Madra’ie, dan Satipah, Istrinya. Sedangkan di sebelah kiri terdapat dua orang; Parto dan Mat Rasul. Mereka adalah putra-putra Madra’ie yang baru selesai mengikuti khataman Alquran di musala Kiai Sholeh.
Kamar berukuran 4 m X 6 m itu semakin dipenuhi tetangga dekat. Aroma kemenyan semakin menghentak gelap malam. Burung hantu yang bertengger di pohon mangga belakang rumah, seperti menanti detik-detik kematian Madra’ie. Bahkan, sore tadi burung gagak yang tak biasa hinggap di bubungan rumah, seperti menyampaikan kabar duka dengan bunyi kaok-kaok-nya. Aroma kemenyan kemudian menghilang. Kedua bola mata Madra’ie semakin terkatup. Seperti kelopak mawar yang enggan menyambut mentari pagi. Lantunan ayat suci dan salawat nabi semakin keras.Aku sempat mengintip bola mata kedua putra Madra’ie yang mengaji Alquran. Air matanya mengalir dengan deras. Sedangkan Marsinah yang duduk di sebelah kanan Madra’ie tampak lemah kemudian pingsan. Ia kemudian digotong ke ruang tengah yang berdempetan dengan kamar Madra’ie.
Kedua bibir Madra’ie seperti bergerak- gerak.Namun,suaranya tak terdengar. Orang-orang yang mengaji Alquran dan yang membaca salawat nabi menurunkan volume suaranya. Suparto dan Mat Rasul mendekatkan daun telinganya ke bibir sang ayah. ”Parto..., sediakan dua kapak! Aku ingin berperang dengan Malaikat!” Madra’ie mengulangi permintaannya. Bergidik bulu roma Suparto mendengar wasiat sang ayah.Orang-orang yang masih berada di ruang itu saling pandang.Sebagian lagi ada yang semakin mengalirkan air matanya.Dan beberapa saat kemudian, penantian burung hantu dan kabar dari burung gagak itu mengisyaratkan kebenarannya. Menjelang tengah malam, Madra’ie ditangisi untuk kali terakhir.
”Kita harus memenuhi wasiat ayah,” Mat Rosul berunding dengan Suparto dan Kadir,keponakan Madra’ie. ”Jangan! Jangan lakukan wasiat itu. Membahayakan!” Kadir mencegah keinginan Mat Rosul. ”Tapi ini wasiat!” Suparto menimpali dengan nada tinggi. ”Ya.Wasiat harus dijalankan. Jika tidak, kita bisa kualat!” Mat Rosul melanjutkan. Akhirnya, dibuatlah kesepakatan bahwa wasiat itu harus dijalankan. Dengan syarat, hal ini tidak boleh diketahui oleh siapa-siapa.Cukup tiga orang yang tahu.Marsinah dan Satipah juga tak boleh tahu mengenai hal ini.
Dalam kondisi seperti itu, Kadir menyelinap pergi mencari kapak ke rumah tetangga. Ia tidak mungkin pergi ke pasar hanya untuk membeli kapak. Maka jalan keluarnya, harus meminjam milik tetangga, dan baru diganti setelah prosesi pemakaman selesai. Ketika ditanya untuk apa kapak tersebut, jawabannya sangat mudah, yaitu untuk keperluan pemakaman. Hingga siang hari,mayat Madra’ie masih terbujur kaku di teras depan.Ini menunggu pelaksanaan salat gaib yang tak kunjung dilaksanakan. Beberapa pelayat mulai gelisah.Sesekali di antara mereka melihat jalan setapak yang menuju halaman rumah dengan harapan, Kiai Sholeh muncul dari balik rerimbun pohon jagung yang menghiasi jalan setapak itu.Namun, Kiai Sholeh tak kunjung datang.Kadir berusaha menjemput Kiai Sholeh untuk memimpin salat gaib.
Di sana ia ditemui oleh seorang pembantunya. Menurutnya, Kiai Sholeh baru berangkat ke Jakarta untuk mengikuti sidang paripurna di Gedung DPR RI. Kadir langsung menuju dalemKiai Nur Salam. Ia termasuk tokoh masyarakat yang tinggal di desa sebelah, sekitar satu kilo ke arah tenggara dari kediaman Kiai Soleh. Sebagaimana Kiai Sholeh,Kiai Nur Salam juga tak ada di rumah. Menurut laporan seseorang, Kiai Nur Salam ada di rumah istri mudanya di luar kota. Kadir pulang dengan tangan hampa. Para pelayat semakin gelisah. Sebab, di teras depan muncul aroma tak sedap. Kali ini bukan bau kemenyan sebagaimana tadi malam menyeruak di kamar Madra’ie.Ada semacam bau bangkai tikus yang menyeruak memenuhi rumah itu.
Pandangan para pelayat tertuju pada jenazah Madra’ie. Agar kondisi tidak semakin gawat, dipilihlah salah satu di antara para pelayat untuk memimpin salat gaib. Langit semakin menampakkan wajah duka. Orang-orang juga merasakan hal yang sama.Mereka semakin gelisah. Kali ini bukan karena wasiat Madra’ie, bukan pula karena bau bangkai yang memenuhi teras depan. Pelayat yang menjadi imam salat jenazah bukan di antara mereka yang terbiasa menjadi imam, melainkan Hasan, tukang angkut kotoran sapi ke kebun.Yangmenggelikan,salatjenazah yang dipimpin Hasan tidak seperti biasanya,melainkan menggunakan rukuk dan sujud.Inilah yang menyebabkan prosesi ini semakin runyam. Namun, tak seorang pun yang mempermasalahkan pelaksanaan salat jenazah ini.
Tak lama kemudian,mayat itu dibawa ke liang lahat. Di sana Suparto dan Mat Rosul sibuk membaringkan ayahnya pada liang lahat yang tak seberapa lebar itu. Sesuai rencana sebelumnya,merekalah yang akan meletakkan dua kapak wasiat yang akan menemani ayahnya ”berperang” dengan Malaikat. Mat Rasul sudah mempersiapkan kedua kapak itu sebelum iring-iringan jenazah sampai di area kuburan. Kedua kapak itu dipendam dengan kedalaman hanya 15 sentimeter. Setelah mayat berbaring dan menghadap kiblat, tali yang mengikat kapak tinggal ditarik sedikit.Maka kapak itu akan keluar sebagai bekal Madra’ie menuju sang khalik.
Inilah taktik Kadir agar rencana penguburan dua kapak tidak terbongkar. Mat Rosul,Suparto, dan Kadir menarik nafas lega,setelah prosesi penguburan selesai.Bisa dipastikan, para pelayat yang mengantar jenazah tak ada yang mengetahui. Beberapa saat kemudian, mereka pulang diiringi ledakan hujan yang membelah langit.Area kuburan becek dengan tanah. Seminggu kemudian, Kiai Sholeh datang dari Jakarta. Inilah yang membuat hati Mat Rasul dan Suparto digelayuti rasa cemas. ”Saya mendengar bahwa ayahmu berwasiat agar waktu penguburan disertakan kapak.Ehm, tapi maaf, ini hanya laporan warga.
Jika ini benar, maka kuburan itu harus dibongkar!” Mendengar kata ’dibongkar’,wajah Mat Rosul dan Suparto menjadi merah. Di benaknya penuh dengan tanda tanya,mengapa prosesi penguburan ini kokberbelit-belit dan rumit. ”Itu tidak benar,Kiai! Itu fitnah yang sengaja dilontarkan untuk merendahkan harkat dan martabat keluarga kami,terutama bagi almarhum.” ”Wong yang melapor peristiwa ini masih termasuk di antara keluarga kalian.” Suparto terdiam. Mat Rosul juga seperti tak memiliki sepatah kata pun untuk disampaikan. ”Baik, kalau Kiai tak percaya perkataan saya, silakan dibongkar saja kuburan itu.” Pagi-pagi buta. Beberapa orang berkumpul untuk membongkar kuburan Madra’ie. Marsinah dan Satipah berdiri di bawah pohon kamboja, sekitar 10 meter dari kuburan Madra’ie.
Sedangkan Suparto dan Mat Rosul berdiri di dekat orang yang menggali kuburan itu.Hati Mat Rosul seperti akan diserang gempa tektonik. Bagaimana nanti setelah diketahui bahwa dua buah kapak itu betul-betul ada. Alasan apa yang harus disampaikan kepada warga, terutama kepada Kiai Sholeh yang kini berada di antara mereka. Tiga orang yang menggali kuburan itu terlihat ragu. Sesekali mereka menatap wajah Mat Rosul dan Suparto. Namun, tugas tersebut tetap dilanjutkan, sesuai kesepakatan. Setelah hampir setengah jam berlalu,kini tiba saat yang sangat mendebarkan. Sebagian kain kafan sudah terlihat jelas, sebagian lagi masih tertutup tanah. Mat Rosul dan Suparto mundur beberapa langkah. Mereka menoleh ke kiri dan ke kanan,seperti menyiapkan sesuatu untuk meninggalkan tempat tersebut.
Namun, ini tidak mungkin. Sebab, almarhum Madra’ie bukan siapa-siapa,melainkan ayah kandungnya sendiri yang merawat dan membesarkan hingga menjadi orang dewasa. Deg deg deg! Seperti inilah detak jantung Suparto dan Mat Rosul ketika butiran-butiran tanah yang menutupi kain kafan Madra’ie mulai terbuka. Mat Rosul berpikir, ini bukan sekadar tabir yang menutupi tubuh almarhum, akan tetapi ini adalah tabir yang akan membuka rahasia wasiat dua kapak yang diikutkan pada almarhum seminggu yang lalu. Orang-orang yang menghadiri pembongkaran mayat ini seperti tak berkedip. Mereka ingin menyaksikan mayat Madra’ie setelah dikubur seminggu yang lalu.
Mereka ingin mengetahui siksa yang diturunkan kepada Madra’ie setelah diisukan ’merebut’ warisan Marsinah. Mereka juga ingin mengetahui rahasia–orang menyebutnya ’kapak maut’–kapak yang sempat dihubunghubungkan dengan wasiat Madra’ie sebelum meninggal. Beberapa saat kemudian, mayat tersebut berhasil diangkat dari liang lahat. Inilah saat-saat yang menegangkan. Sekitar seratus warga yang hadir berdesak-desakan seperti ingin melihat sebuah tontonan ajaib.Begitu juga Suparto dan Mat Rosul. Mereka mulai berada di garis paling depan, setelah Kiai Sholeh memanggilnya dengan kedipan mata. Begitu juga Marsinah dan Satipah. Sedangkan Kadir, berjubel pada baris bagian belakang.
Seluruh tubuhnya juga dibanjiri keringat. SupartodanMatRosulmenariknafas lega,setelah semuanya berjalan dengan lancar.Kain kafan yang menutupi tubuh Madra’ie masih utuh.Kapas-kapas yang melekat pada bagian tubuh tertentu juga masih utuh, seperti mata, telinga, hidung, dan lain sebagainya. Mereka menyaksikan bahwa semua tak ada yang ganjil. Tak ada kapak. Juga tak ada sesuatu yang mencurigakan. Setelah disaksikan para pelayat, mayat itu kembali dibaringkan pada liang lahat. Sedangkan Marsinah pingsan di antara kerumunan orang. Inilah kemenangan Suparto dan Mat Rosul. Orang-orang percaya bahwa ’kapak maut’ yang diwasiatkan Madra’ie ternyata tak dilaksanakan oleh kedua putranya itu.
Sebelum matahari menuju beduk zuhur,orang-orang meninggalkan area kuburan yang masih becek setelah turun hujan kemarin sore.Kini tinggal Suparto dan Mat Rosul yang berdiri mematung di area kuburan itu. Sebelum meninggalkan tempat itu, Mat Rosul berbisik pada Suparto, ”Parto, dari balik kapas, aku tadi sempat melihat kedua belah mata ayah melotot seperti baru saja menelan benda keras.” SUHAIRI RACHMAD
Setelah selama satu tahun diserang penyakit, tubuh Madra’ie semakin lemah. Untuk membalikkan tubuhnya saja, ia perlu bantuan orang lain. Padahal, umurnya baru sekitar 45 tahun. Menurut anggapan tetangganya, penyakit ini merupakan balak.
Semasa mudanya, Madra’ie pernah merebut warisan sepetak lahan orang tuanya yang diberikan kepada Marsinah,adik kandung Madra’ie. Setelah berbulan-bulan sakit tidak sembuh-sembuh,beberapa tetangga menyarankan agar warisan itu dikembalikan pada Marsinah. Namun, Madra’ie menolak saran tersebut.
Para tetangga berkumpul di teras rumah Madra’ie. Asap kemenyan tercium menyeruak memenuhi ruangan tempat Madra’ie terbaring kaku.Angin yang bertiup cukup kencang pada musim penghujan ini menerbangkan aroma kemenyan ke beranda depan, samping, dan belakang, bahkan ke rumah-rumah tetangga.Bau kemenyan inilah yang mengundang orang-orang berdatangan. Sanak famili Madra’ie mengaji di Alquran atau membaca salawat nabi. Di sebelah kanannya terdapat dua orang; Marsinah, adik kandung Madra’ie, dan Satipah, Istrinya. Sedangkan di sebelah kiri terdapat dua orang; Parto dan Mat Rasul. Mereka adalah putra-putra Madra’ie yang baru selesai mengikuti khataman Alquran di musala Kiai Sholeh.
Kamar berukuran 4 m X 6 m itu semakin dipenuhi tetangga dekat. Aroma kemenyan semakin menghentak gelap malam. Burung hantu yang bertengger di pohon mangga belakang rumah, seperti menanti detik-detik kematian Madra’ie. Bahkan, sore tadi burung gagak yang tak biasa hinggap di bubungan rumah, seperti menyampaikan kabar duka dengan bunyi kaok-kaok-nya. Aroma kemenyan kemudian menghilang. Kedua bola mata Madra’ie semakin terkatup. Seperti kelopak mawar yang enggan menyambut mentari pagi. Lantunan ayat suci dan salawat nabi semakin keras.Aku sempat mengintip bola mata kedua putra Madra’ie yang mengaji Alquran. Air matanya mengalir dengan deras. Sedangkan Marsinah yang duduk di sebelah kanan Madra’ie tampak lemah kemudian pingsan. Ia kemudian digotong ke ruang tengah yang berdempetan dengan kamar Madra’ie.
Kedua bibir Madra’ie seperti bergerak- gerak.Namun,suaranya tak terdengar. Orang-orang yang mengaji Alquran dan yang membaca salawat nabi menurunkan volume suaranya. Suparto dan Mat Rasul mendekatkan daun telinganya ke bibir sang ayah. ”Parto..., sediakan dua kapak! Aku ingin berperang dengan Malaikat!” Madra’ie mengulangi permintaannya. Bergidik bulu roma Suparto mendengar wasiat sang ayah.Orang-orang yang masih berada di ruang itu saling pandang.Sebagian lagi ada yang semakin mengalirkan air matanya.Dan beberapa saat kemudian, penantian burung hantu dan kabar dari burung gagak itu mengisyaratkan kebenarannya. Menjelang tengah malam, Madra’ie ditangisi untuk kali terakhir.
”Kita harus memenuhi wasiat ayah,” Mat Rosul berunding dengan Suparto dan Kadir,keponakan Madra’ie. ”Jangan! Jangan lakukan wasiat itu. Membahayakan!” Kadir mencegah keinginan Mat Rosul. ”Tapi ini wasiat!” Suparto menimpali dengan nada tinggi. ”Ya.Wasiat harus dijalankan. Jika tidak, kita bisa kualat!” Mat Rosul melanjutkan. Akhirnya, dibuatlah kesepakatan bahwa wasiat itu harus dijalankan. Dengan syarat, hal ini tidak boleh diketahui oleh siapa-siapa.Cukup tiga orang yang tahu.Marsinah dan Satipah juga tak boleh tahu mengenai hal ini.
Dalam kondisi seperti itu, Kadir menyelinap pergi mencari kapak ke rumah tetangga. Ia tidak mungkin pergi ke pasar hanya untuk membeli kapak. Maka jalan keluarnya, harus meminjam milik tetangga, dan baru diganti setelah prosesi pemakaman selesai. Ketika ditanya untuk apa kapak tersebut, jawabannya sangat mudah, yaitu untuk keperluan pemakaman. Hingga siang hari,mayat Madra’ie masih terbujur kaku di teras depan.Ini menunggu pelaksanaan salat gaib yang tak kunjung dilaksanakan. Beberapa pelayat mulai gelisah.Sesekali di antara mereka melihat jalan setapak yang menuju halaman rumah dengan harapan, Kiai Sholeh muncul dari balik rerimbun pohon jagung yang menghiasi jalan setapak itu.Namun, Kiai Sholeh tak kunjung datang.Kadir berusaha menjemput Kiai Sholeh untuk memimpin salat gaib.
Di sana ia ditemui oleh seorang pembantunya. Menurutnya, Kiai Sholeh baru berangkat ke Jakarta untuk mengikuti sidang paripurna di Gedung DPR RI. Kadir langsung menuju dalemKiai Nur Salam. Ia termasuk tokoh masyarakat yang tinggal di desa sebelah, sekitar satu kilo ke arah tenggara dari kediaman Kiai Soleh. Sebagaimana Kiai Sholeh,Kiai Nur Salam juga tak ada di rumah. Menurut laporan seseorang, Kiai Nur Salam ada di rumah istri mudanya di luar kota. Kadir pulang dengan tangan hampa. Para pelayat semakin gelisah. Sebab, di teras depan muncul aroma tak sedap. Kali ini bukan bau kemenyan sebagaimana tadi malam menyeruak di kamar Madra’ie.Ada semacam bau bangkai tikus yang menyeruak memenuhi rumah itu.
Pandangan para pelayat tertuju pada jenazah Madra’ie. Agar kondisi tidak semakin gawat, dipilihlah salah satu di antara para pelayat untuk memimpin salat gaib. Langit semakin menampakkan wajah duka. Orang-orang juga merasakan hal yang sama.Mereka semakin gelisah. Kali ini bukan karena wasiat Madra’ie, bukan pula karena bau bangkai yang memenuhi teras depan. Pelayat yang menjadi imam salat jenazah bukan di antara mereka yang terbiasa menjadi imam, melainkan Hasan, tukang angkut kotoran sapi ke kebun.Yangmenggelikan,salatjenazah yang dipimpin Hasan tidak seperti biasanya,melainkan menggunakan rukuk dan sujud.Inilah yang menyebabkan prosesi ini semakin runyam. Namun, tak seorang pun yang mempermasalahkan pelaksanaan salat jenazah ini.
Tak lama kemudian,mayat itu dibawa ke liang lahat. Di sana Suparto dan Mat Rosul sibuk membaringkan ayahnya pada liang lahat yang tak seberapa lebar itu. Sesuai rencana sebelumnya,merekalah yang akan meletakkan dua kapak wasiat yang akan menemani ayahnya ”berperang” dengan Malaikat. Mat Rasul sudah mempersiapkan kedua kapak itu sebelum iring-iringan jenazah sampai di area kuburan. Kedua kapak itu dipendam dengan kedalaman hanya 15 sentimeter. Setelah mayat berbaring dan menghadap kiblat, tali yang mengikat kapak tinggal ditarik sedikit.Maka kapak itu akan keluar sebagai bekal Madra’ie menuju sang khalik.
Inilah taktik Kadir agar rencana penguburan dua kapak tidak terbongkar. Mat Rosul,Suparto, dan Kadir menarik nafas lega,setelah prosesi penguburan selesai.Bisa dipastikan, para pelayat yang mengantar jenazah tak ada yang mengetahui. Beberapa saat kemudian, mereka pulang diiringi ledakan hujan yang membelah langit.Area kuburan becek dengan tanah. Seminggu kemudian, Kiai Sholeh datang dari Jakarta. Inilah yang membuat hati Mat Rasul dan Suparto digelayuti rasa cemas. ”Saya mendengar bahwa ayahmu berwasiat agar waktu penguburan disertakan kapak.Ehm, tapi maaf, ini hanya laporan warga.
Jika ini benar, maka kuburan itu harus dibongkar!” Mendengar kata ’dibongkar’,wajah Mat Rosul dan Suparto menjadi merah. Di benaknya penuh dengan tanda tanya,mengapa prosesi penguburan ini kokberbelit-belit dan rumit. ”Itu tidak benar,Kiai! Itu fitnah yang sengaja dilontarkan untuk merendahkan harkat dan martabat keluarga kami,terutama bagi almarhum.” ”Wong yang melapor peristiwa ini masih termasuk di antara keluarga kalian.” Suparto terdiam. Mat Rosul juga seperti tak memiliki sepatah kata pun untuk disampaikan. ”Baik, kalau Kiai tak percaya perkataan saya, silakan dibongkar saja kuburan itu.” Pagi-pagi buta. Beberapa orang berkumpul untuk membongkar kuburan Madra’ie. Marsinah dan Satipah berdiri di bawah pohon kamboja, sekitar 10 meter dari kuburan Madra’ie.
Sedangkan Suparto dan Mat Rosul berdiri di dekat orang yang menggali kuburan itu.Hati Mat Rosul seperti akan diserang gempa tektonik. Bagaimana nanti setelah diketahui bahwa dua buah kapak itu betul-betul ada. Alasan apa yang harus disampaikan kepada warga, terutama kepada Kiai Sholeh yang kini berada di antara mereka. Tiga orang yang menggali kuburan itu terlihat ragu. Sesekali mereka menatap wajah Mat Rosul dan Suparto. Namun, tugas tersebut tetap dilanjutkan, sesuai kesepakatan. Setelah hampir setengah jam berlalu,kini tiba saat yang sangat mendebarkan. Sebagian kain kafan sudah terlihat jelas, sebagian lagi masih tertutup tanah. Mat Rosul dan Suparto mundur beberapa langkah. Mereka menoleh ke kiri dan ke kanan,seperti menyiapkan sesuatu untuk meninggalkan tempat tersebut.
Namun, ini tidak mungkin. Sebab, almarhum Madra’ie bukan siapa-siapa,melainkan ayah kandungnya sendiri yang merawat dan membesarkan hingga menjadi orang dewasa. Deg deg deg! Seperti inilah detak jantung Suparto dan Mat Rosul ketika butiran-butiran tanah yang menutupi kain kafan Madra’ie mulai terbuka. Mat Rosul berpikir, ini bukan sekadar tabir yang menutupi tubuh almarhum, akan tetapi ini adalah tabir yang akan membuka rahasia wasiat dua kapak yang diikutkan pada almarhum seminggu yang lalu. Orang-orang yang menghadiri pembongkaran mayat ini seperti tak berkedip. Mereka ingin menyaksikan mayat Madra’ie setelah dikubur seminggu yang lalu.
Mereka ingin mengetahui siksa yang diturunkan kepada Madra’ie setelah diisukan ’merebut’ warisan Marsinah. Mereka juga ingin mengetahui rahasia–orang menyebutnya ’kapak maut’–kapak yang sempat dihubunghubungkan dengan wasiat Madra’ie sebelum meninggal. Beberapa saat kemudian, mayat tersebut berhasil diangkat dari liang lahat. Inilah saat-saat yang menegangkan. Sekitar seratus warga yang hadir berdesak-desakan seperti ingin melihat sebuah tontonan ajaib.Begitu juga Suparto dan Mat Rosul. Mereka mulai berada di garis paling depan, setelah Kiai Sholeh memanggilnya dengan kedipan mata. Begitu juga Marsinah dan Satipah. Sedangkan Kadir, berjubel pada baris bagian belakang.
Seluruh tubuhnya juga dibanjiri keringat. SupartodanMatRosulmenariknafas lega,setelah semuanya berjalan dengan lancar.Kain kafan yang menutupi tubuh Madra’ie masih utuh.Kapas-kapas yang melekat pada bagian tubuh tertentu juga masih utuh, seperti mata, telinga, hidung, dan lain sebagainya. Mereka menyaksikan bahwa semua tak ada yang ganjil. Tak ada kapak. Juga tak ada sesuatu yang mencurigakan. Setelah disaksikan para pelayat, mayat itu kembali dibaringkan pada liang lahat. Sedangkan Marsinah pingsan di antara kerumunan orang. Inilah kemenangan Suparto dan Mat Rosul. Orang-orang percaya bahwa ’kapak maut’ yang diwasiatkan Madra’ie ternyata tak dilaksanakan oleh kedua putranya itu.
Sebelum matahari menuju beduk zuhur,orang-orang meninggalkan area kuburan yang masih becek setelah turun hujan kemarin sore.Kini tinggal Suparto dan Mat Rosul yang berdiri mematung di area kuburan itu. Sebelum meninggalkan tempat itu, Mat Rosul berbisik pada Suparto, ”Parto, dari balik kapas, aku tadi sempat melihat kedua belah mata ayah melotot seperti baru saja menelan benda keras.” SUHAIRI RACHMAD
No comments:
Post a Comment