Saturday, 05 March 2011 | |
Pernahkah Anda bayangkan bahwa Anda atau anak Anda terlalu terdidik untuk sebuah pekerjaan? Master dari Amerika,tapi di Tanah Air harus bekerja dengan gaji Rp5 juta? Menjadi arsitek idealis, tapi akhirnya harus bikin rumah yang tampak seperti kue ulang tahun di kompleks dengan nama-nama seperti Barcelona atau Venesia? Tidak sebanding dengan biaya pendidikan yang telah dikeluarkan ataupun pengetahuan yang didapatkan. Sebagai orang yang tidak punya ijazah (maklum seniman) saya boleh tertawa. Saya tidak pernah terlalu berpendidikan untuk pekerjaan apapun. Saya memang selesai kuliah, tapi tidak pernah mengambil ijazah.Ini barangkali karena jengkel pada sistem pendidikan kita. Saya jadi teringat MAW Brouwer, seorang pakar pendidikan di zaman Soeharto. Dia berkata, Indonesia tidak perlu terlalu banyak SMA. SMA hanya untuk anak dengan kecerdasan di atas rata-rata, tulisnya– sesuatu yang tidak bisa saya pahami pada 1980-an. Menurut Romo Brouwer, yang dibutuhkan adalah sekolah kejuruan. Lulusannya tidak perlu hafal teori macammacam, tetapi siap bekerja. Mereka juga tidak perlu sekolah lama-lama. Mereka bisa seg e ra produktif. Artinya, prioritas pendidikan bagi mayoritas anak muda bukanlah menjadikan mereka Albert Einstein (sebab orang jenius tidak pernah mayoritas), melainkan menjadikan mereka cakap dan terampil. Sungguh,20 tahun silam saya tidak mengerti pendapat itu. Baru belakangan ini saya paham. Pertama, ketika melihat generasi yang lulusan luar negeri atau bahkan lulusan sekolah elit,yang jika mereka harus mencicil kembali biaya kuliah tentulah tak akan lunas dalam dua puluh tahun.Artinya,jika dihitung dari nilai uang,pendidikan adalah modal yang takkan kembali. Kedua, mengetahui bahwa di banyak neg a r a Eropa sekarang terjadi pengangguran besar generasi muda terdidik, untuk pertama kali dalam sejarah. Mereka bergelar S2 atau S3, tetapi tidak bisa menemukan pekerjaan yang sebanding.Pekerjaan kerah putih yang tersedia tidak menawarkan gaji memuaskan.Sementara pekerjaan kerah biru diambil pendatang. Maaf.Ini tidak hanya terjadi di Eropa, tetapi juga di Asia, di area yang generasi mudanya mulai menjadi sangat terdidik secara formal.Pasar pekerjaan ternyata tidak membutuhkan kualifikasi setinggi itu.Karena itu, hmm, tiba-tiba saya mendengar pertanyaan yang zaman dulu hanya diajukan bagi anak perempuan: untuk apa sekolah tinggi-tinggi? Ya, untuk apa sekolah tinggi- tinggi? Pertanyaan itu pantas diajukan lagi, tapi dengan cara berbeda. Bukan berarti kita tidak ingin pintar.Namun, karena gelar sarjana bukan setara dengan kepandaian dan kecakapan.Kematangan ilmu maupun praktik tidak hanya bisa didapat dari sekolah.Pertanyaan ini pun harus diajukan dengan kesadaran bahwa manusia tidak hanya belajar ketika dia berada di sekolah.Manusia harus senantiasa belajar sepanjang hidupnya. Yang terjadi sekarang adalah kita terjebak formalisme. Keluarga kelas menengah gengsi jika anakanak tidak bergelar. Bursa pekerjaan pun menuntut status sarjana. Lembaga pendidikan menjadi bisnis ijazah. Ini menjadi sejenis ekonomi biaya tinggi. Di banyak negara Eropa sekarang, cendekiawan muda sulit dapat pekerjaan.Namun, di Indonesia lebih menyedihkan, orang-orang harus membeli waktu dan diploma hanya untuk bisa melamar kerja.Untuk menjadi satpam, misalnya, seseorang tidak perlu gelar sarjana. Dia hanya perlu kecakapan, badan kuat,dan akal sehat. Betapa sia-sia waktu dan biaya “membeli” S1. Sementara seharusnya dia layak bekerja lebih dini dengan nilai modal lebih kecil. Surplus master dan doktor yang terjadi di Eropa,dan mulai juga di beberapa negara Asia, pantas membuat kita menyusun ulang strategi pendidikan kita. Sekolah tinggi bukan untuk dapat pekerjaan. Percayalah, jika memang ilmu yang kita inginkan, kita masih bisa tetap sekolah di usia tua. |
!doctype>
!doctype>
08 March 2011
Sekolah Tinggi, untuk Apa?
Labels:
Knowledge
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment