Dalam suatu penerbangan dari Jakarta menuju Surabaya, saya mendapat tempat duduk bersebelahan dengan seorang pengusaha yang disebut-sebut pernah terlibat dalam kasus penyuapan.
Mudah bagi saya untuk mengenalinya karena wajah dan berita kasus yang menimpa sang pengusaha pernah muncul secara agak mencolok di berbagai media massa. Saya menyapa lebih dulu, menyalaminya, dan berbincang-bincang tanpa topik tertentu. Di antara pembicaraan yang cukup lama itu saya pun menyinggung tentang kasus penyuapan yang diduga pernah dilakukannya terhadap pejabat pemerintah sehingga menggegerkan dunia politik dan hukum di Indonesia.
Ternyata orang ini menjadi bersemangat menceritakan kebiasaan pejabat-pejabat kita yang suka menjualbelikan proyek melalui pasar gelap dengan meminta suap sebagai harga ekstra proyek. “Sudah biasa,Pak,di negeri ini proyek-proyek takkan bisa didapat kalau tak menyediakan suap. Habis, pejabatnya yang meminta disuap. Katanya, sih,tender dilakukan secara terbuka dan fair,tetapi sebenarnya ada pasar gelap yang lebih menentukan.Makanya selain tetek-bengek urusan administrasi yang harus disiapkan, kami juga harus menyediakan dana dan tim lobi untuk pejabat- pejabat yang menangani proyek itu,”katanya.
Dia mengatakan bahwa para pengusaha sebenarnya mau ikut aturan dan prosedurprosedur yang benar,tetapi dalam praktik kalau hanya ikut prosedur yang secara resmi diumumkan oleh pemerintah,ya, akan kalah. Maka sudah menjadi umum bagi mereka yang mau ikut dalam proyek-proyek pemerintah selain harus siap dengan berbagai dokumen dan urusan teknis lainnya, juga harus menyiapkan dana untuk bertransaksi di pasar gelap yang akan menentukan kemenangan di tempat terang yang disebut tender terbuka itu.
Paket pasar gelap dan uang suap itu semakin kuat dalam proyek-proyek yang bisa dilakukan dengan penunjukan langsung atau proyek-proyek dan pengadaan barang atau jasa yang karena sifat, kuantitas biaya, dan situasinya boleh dilakukan dengan penunjukan langsung,tanpa tender. “Jadi jangan dibilang,kami para pengusaha ini sebagai perusak negara karena menyuburkan korupsi dan penyuapan. Kami melakukan itu karena pejabatnya yang meminta disuap.
Makanya kami harus punya orang atau tim yang bisa menemukan lorong-lorong gelap untuk berbicara di pasar gelap dan menyerahkan uang di tempat gelap itu. Kami kan harus menjaga kelangsungan bisnis kami,”katanya lagi. Kisah pertemuan dan rerasanan saya tentang para pejabat peminta suap dengan pengusaha di pesawat itu menyembul kembali di benak saya ketika seminggu yang lalu penyuap Wisma Atlet Palembang, El Idris dan Mindo Rosalina,dijatuhi hukuman penjara oleh Pengadilan Tipikor.
Dalam dialog interaktif di sebuah stasiun televisi saya melihat Tommy Sihotang yang menjadi pengacara El Edris mengonfirmasi secara tidak langsung mengenai perilaku pejabat, bukan hanya pejabat pemerintah, tetapi juga pejabat politik yang memang suka dan selalu minta disuap. Saat itu,dengan nada tinggi, Sihotang menyatakan kejengkelannya karena penghukuman terhadap kliennya menjadi contoh baru bahwa KPK hanya berani menjerat dan menghukum orang-orang kecil yang tak punya jabatan di pemerintahan dan tak punya beking politik. Padahal mereka melakukan itu karena pejabatnya yang selalu meminta disuap.
Tapi pejabatpejabat yang begitu masih terus bebas berkeliaran hanya karena mengaku tak tahu atau lupa. Adapun orang-orang kecil yang menyuap mudah sekali dijatuhi hukuman.“Padahal mereka ‘terpaksa’ melakukan penyuapan karena ingin menyelamatkan ribuan karyawannya,” teriak Sihotang seraya meminta agar KPK segera menangkap para pejabat dan tokoh politik yang terindikasi kuat melakukan korupsi. Ada contoh lain.
Seorang anggota DPR bercerita kepada saya bahwa ketika dirinya diminta oleh seorang bupati dari daerah asal pemilihannya untuk mengusulkan proyek infrastruktur (jalan raya), ternyata koleganya di DPR yang bertugas menangani APBN juga mensyaratkan agar bupati itu membayar 6% di depan supaya usulan itu masuk ke dalam APBN.Terpaksalah teman saya itu menyuruh sang bupati untuk menemui sendiri orang yang meminta 6% itu. “Terhadap sesama anggota DPR saja main 6% begitu,apalagi terhadap orang lain.
Coba para bupati dan gubernur itu diminta melapor ke KPK, tetapi KPK mau memberi jaminan bahwa pelapor tidak akan dihukum dengan pidana penyuapan,pasti akan banyak yang melapor,” katanya sambil tertawa pahit. Jadi banyak penyuap yang “terpaksa” melakukan itu karena kalau tak menyuap tidak akan mendapat proyek.Jangan heran kalau ada berita uang suap yang diantar melalui kardus botol air mineral atau bungkus mangga dan apel dengan kode apel malang atau apel washington, sebab diserahkan dalam bentuk uang tunai akan lebih aman daripada ditransfer melalui bank.
Meski tak sepenuhnya benar, ada tengara bahwa selama ini yang dijatuhi hukuman memang lebih banyak orangorang yang tak punya kekuasaan atau beking politik. KPK dan penegak hukum lain perlu menyuntik “urat berani”-nya agar berani menangkap lebih banyak orang penting yang punya payung politik dan menduduki jabatan penting.
Mudah bagi saya untuk mengenalinya karena wajah dan berita kasus yang menimpa sang pengusaha pernah muncul secara agak mencolok di berbagai media massa. Saya menyapa lebih dulu, menyalaminya, dan berbincang-bincang tanpa topik tertentu. Di antara pembicaraan yang cukup lama itu saya pun menyinggung tentang kasus penyuapan yang diduga pernah dilakukannya terhadap pejabat pemerintah sehingga menggegerkan dunia politik dan hukum di Indonesia.
Ternyata orang ini menjadi bersemangat menceritakan kebiasaan pejabat-pejabat kita yang suka menjualbelikan proyek melalui pasar gelap dengan meminta suap sebagai harga ekstra proyek. “Sudah biasa,Pak,di negeri ini proyek-proyek takkan bisa didapat kalau tak menyediakan suap. Habis, pejabatnya yang meminta disuap. Katanya, sih,tender dilakukan secara terbuka dan fair,tetapi sebenarnya ada pasar gelap yang lebih menentukan.Makanya selain tetek-bengek urusan administrasi yang harus disiapkan, kami juga harus menyediakan dana dan tim lobi untuk pejabat- pejabat yang menangani proyek itu,”katanya.
Dia mengatakan bahwa para pengusaha sebenarnya mau ikut aturan dan prosedurprosedur yang benar,tetapi dalam praktik kalau hanya ikut prosedur yang secara resmi diumumkan oleh pemerintah,ya, akan kalah. Maka sudah menjadi umum bagi mereka yang mau ikut dalam proyek-proyek pemerintah selain harus siap dengan berbagai dokumen dan urusan teknis lainnya, juga harus menyiapkan dana untuk bertransaksi di pasar gelap yang akan menentukan kemenangan di tempat terang yang disebut tender terbuka itu.
Paket pasar gelap dan uang suap itu semakin kuat dalam proyek-proyek yang bisa dilakukan dengan penunjukan langsung atau proyek-proyek dan pengadaan barang atau jasa yang karena sifat, kuantitas biaya, dan situasinya boleh dilakukan dengan penunjukan langsung,tanpa tender. “Jadi jangan dibilang,kami para pengusaha ini sebagai perusak negara karena menyuburkan korupsi dan penyuapan. Kami melakukan itu karena pejabatnya yang meminta disuap.
Makanya kami harus punya orang atau tim yang bisa menemukan lorong-lorong gelap untuk berbicara di pasar gelap dan menyerahkan uang di tempat gelap itu. Kami kan harus menjaga kelangsungan bisnis kami,”katanya lagi. Kisah pertemuan dan rerasanan saya tentang para pejabat peminta suap dengan pengusaha di pesawat itu menyembul kembali di benak saya ketika seminggu yang lalu penyuap Wisma Atlet Palembang, El Idris dan Mindo Rosalina,dijatuhi hukuman penjara oleh Pengadilan Tipikor.
Dalam dialog interaktif di sebuah stasiun televisi saya melihat Tommy Sihotang yang menjadi pengacara El Edris mengonfirmasi secara tidak langsung mengenai perilaku pejabat, bukan hanya pejabat pemerintah, tetapi juga pejabat politik yang memang suka dan selalu minta disuap. Saat itu,dengan nada tinggi, Sihotang menyatakan kejengkelannya karena penghukuman terhadap kliennya menjadi contoh baru bahwa KPK hanya berani menjerat dan menghukum orang-orang kecil yang tak punya jabatan di pemerintahan dan tak punya beking politik. Padahal mereka melakukan itu karena pejabatnya yang selalu meminta disuap.
Tapi pejabatpejabat yang begitu masih terus bebas berkeliaran hanya karena mengaku tak tahu atau lupa. Adapun orang-orang kecil yang menyuap mudah sekali dijatuhi hukuman.“Padahal mereka ‘terpaksa’ melakukan penyuapan karena ingin menyelamatkan ribuan karyawannya,” teriak Sihotang seraya meminta agar KPK segera menangkap para pejabat dan tokoh politik yang terindikasi kuat melakukan korupsi. Ada contoh lain.
Seorang anggota DPR bercerita kepada saya bahwa ketika dirinya diminta oleh seorang bupati dari daerah asal pemilihannya untuk mengusulkan proyek infrastruktur (jalan raya), ternyata koleganya di DPR yang bertugas menangani APBN juga mensyaratkan agar bupati itu membayar 6% di depan supaya usulan itu masuk ke dalam APBN.Terpaksalah teman saya itu menyuruh sang bupati untuk menemui sendiri orang yang meminta 6% itu. “Terhadap sesama anggota DPR saja main 6% begitu,apalagi terhadap orang lain.
Coba para bupati dan gubernur itu diminta melapor ke KPK, tetapi KPK mau memberi jaminan bahwa pelapor tidak akan dihukum dengan pidana penyuapan,pasti akan banyak yang melapor,” katanya sambil tertawa pahit. Jadi banyak penyuap yang “terpaksa” melakukan itu karena kalau tak menyuap tidak akan mendapat proyek.Jangan heran kalau ada berita uang suap yang diantar melalui kardus botol air mineral atau bungkus mangga dan apel dengan kode apel malang atau apel washington, sebab diserahkan dalam bentuk uang tunai akan lebih aman daripada ditransfer melalui bank.
Meski tak sepenuhnya benar, ada tengara bahwa selama ini yang dijatuhi hukuman memang lebih banyak orangorang yang tak punya kekuasaan atau beking politik. KPK dan penegak hukum lain perlu menyuntik “urat berani”-nya agar berani menangkap lebih banyak orang penting yang punya payung politik dan menduduki jabatan penting.
MOH MAHFUD MD
Guru Besar Hukum Konstitusi
No comments:
Post a Comment